REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Film Parasite asal Korea Selatan menjadi pemenang penghargaan Film Terbaik di Academy Awards atau Oscar. Film ini menceritakan kisah sebuah keluarga miskin yang tinggal di sebuah apartemen kontrakan bawah tanah yang kecil dan gelap dan sebuah keluarga kaya yang tinggal di rumah mewah di Seoul.
Meskipun cerita film ini adalah karya fiksi, tapi rumah kontrakan itu dan cara orang-orang hidup di dalamnya memang ada di Korsel. Tempat itu disebut banjiha. Ribuan orang tinggal di sana yang berlokasi di ibu kota Korea Selatan, Seoul.
Dilansir BBC pada Selasa (11/2) diceritakan pada dasarnya tidak ada sinar matahari di banjiha. Ruangan itu mendapat sedikit cahaya sehingga bahkan tanaman sukulen kecil tidak bisa bertahan hidup.
Oh Kee Cheol, salah seorang yang tinggal di banjiha, mengatakan bahwa orang-orang dapat mengintip ke kontrakannya melalui jendela. Para remaja kadang-kadang merokok di luar kontrakan atau meludah ke tanah. Di musim panas, ia merasakan kelembapan yang tak tertahankan dan jamur tumbuh dengan cepat di kontrakannya tersebut.
Kamar mandi kecil di banjiha tidak memiliki wastafel dan lantainya lebih tinggi setengah meter di atas lantai ruangan lainnya. Langit-langit kamar mandi sangat rendah sehingga dia harus berdiri dengan kedua kaki melebar untuk menghindari benturan di kepalanya.
"Ketika saya pertama kali pindah, saya mendapat memar karena membenturkan tulang kering saya di tangga dan lecet karena merentangkan tangan saya ke dinding beton," kata Oh Kee Cheol yang bekerja di industri logistik. Akan tetapi sekarang dia bilang sudah terbiasa. "Saya tahu di mana semua tonjolan dan posisi lampu berada," ujarnya.
Parasite, film arahan sutradara legendaris Bong Joon-ho, adalah kisah mengenai orang-orang kaya dan miskin di Seoul. Perbedaan ekstrem antara keluarga Park yang kaya dan Kim yang miskin ditunjukkan melalui dua rumah mereka. Satu rumah mewah di atas bukit di Seoul dan yang lain semi-basement yang suram.
Namun di kehidupan nyata Seoul, banjiha adalah tempat di mana ribuan anak muda akhirnya hidup sementara mereka bekerja keras dan berharap untuk masa depan yang lebih baik. Banjiha bukan hanya kekhasan arsitektur Seoul tetapi merupakan produk sejarah.
Ruang-ruang kecil ini sebenarnya berasal dari jaman konflik Korea Utara dan Selatan. Pada 1968, pasukan komando Korut menyelinap ke Seoul dalam misi untuk membunuh Presiden Korea Selatan Park Chung-hee.
Serangan itu digagalkan tetapi ketegangan antara kedua Korea meningkat. Pada tahun yang sama, Korut juga menyerang dan menangkap kapal mata-mata Angkatan Laut AS, USS Pueblo. Agen bersenjata Korut menyusup ke Korsel dan ada sejumlah insiden teroris.
Khawatir akan eskalasi, pada 1970 pemerintah Korsel memperbarui kode bangunannya. Pemerintah mengharuskan semua gedung apartemen bertingkat rendah yang baru dibangun memiliki ruang bawah tanah untuk dijadikan bunker jika terjadi keadaan darurat nasional.
Awalnya, menyewakan ruang banjiha seperti itu ilegal. Tetapi selama krisis perumahan di tahun 1980-an, dengan ruang yang semakin menipis di ibu kota, pemerintah terpaksa melegalkan ruang bawah tanah ini untuk ditinggali.
Pada 2018, PBB mencatat meskipun memiliki ekonomi terbesar ke-11 di dunia kurangnya perumahan yang terjangkau di Korsel merupakan penghalang yang substansial. Terutama untuk orang muda dan orang miskin.
Untuk orang muda di bawah 35 tahun, rasio rent-to-income tetap sekitar 50 persen selama sepuluh tahun terakhir. Jadi apartemen semi-basement telah menjadi respons yang terjangkau terhadap harga perumahan yang berkembang pesat. Sewa bulanan sekitar 540 ribu won Korea (sekitar Rp 6,3 juta) dengan gaji bulanan rata-rata untuk orang berusia 20-an sekitar 2 juta won (sekitar Rp 23,3 juta).
Meskipun demikian, beberapa penghuni banjiha berjuang untuk mengatasi stigma sosial. Tapi tidak semua merasa seperti itu.
"Saya benar-benar merasa baik-baik saja dengan apartemen saya. Saya memilih tempat ini untuk menghemat uang dan saya menabung banyak karena itu. Tetapi saya perhatikan saya tidak bisa menghentikan orang-orang yang mengasihani saya," jelas Oh.
"Di Korea, orang-orang berpikir penting memiliki mobil atau rumah yang bagus. Saya pikir banjiha melambangkan kemiskinan. Mungkin itu sebabnya di mana saya tinggal menentukan siapa saya." tambahnya.