REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan tidak keberatan atas pemutusan perjanjian militer yang dilakukan pemerintah Filipina, Rabu (12/2). Trump menyatakan AS akan baik-baik saja justru malah menghemat banyak uang.
"Saya benar-benar tidak keberatan, jika mereka ingin melakukan itu, itu baik-baik saja. Kami akan menghemat banyak uang. Anda tahu pandangan saya berbeda dari orang lain. Saya melihatnya sebagai, 'Terima kasih banyak, kami akan menghemat banyak uang'," kata Trump dalam pertemuan dengan Presiden Ekuador Lenin Moreno di Gedung Putih.
Trump pun menyatakan dia tetap memiliki hubungan yang baik dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Terlebih lagi AS telah membantu negara Asia Tenggara itu memerangi teroris ISIS selama dekade terakhir.
Padahal, sehari sebelum Trump mengatakan itu Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyebut keputusan tersebut sebagai langkah yang bergerak ke arah yang salah. Filipina telah melakukan keputusan yang akan sangat merugikan.
Keputusan itu dipicu oleh pencabutan visa AS kepada mantan kepala polisi yang memimpin perang terhadap narkoba di Filipina Ronald dela Rosa. Juru bicara Duterte, Salvador Panelo, mengatakan keputusan Duterte adalah konsekuensi dari tindakan legislatif dan eksekutif AS yang menyerang kedaulatan dan tidak menghormati sistem peradilan Filipina.
Dikutip dari Bloomberg, keputusan untuk mengakhiri perjanjian dipandang pemerintah Duterte semakin mendekat terhadap China. Upaya ini dapat mempersulit langkah AS untuk melawan pengaruh Beijing di Laut China Selatan.
Pentagon telah berjanji untuk mengalihkan lebih banyak sumber daya ke Indo-Pasifik untuk membantu melawan China. Upaya ini sebagai bagian dari kompetisi kekuatan besar yang akan datang dengan Beijing dan Moskow.
Perjanjian Visiting Forces tahun 1988 memungkinkan pesawat dan kapal militer AS masuk secara gratis ke Filipina dan melonggarkan kebijakan visa serta paspor. Perubahan dalam perjanjian militer berusia 22 tahun ini baru akan berlaku setelah 180 hari.