REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB - Dalam beberapa hari terakhir, pasukan Turki dan Suriah yang didukung Rusia bentrok di markas pemberontak Suriah. Pertempuran ini mengancam ketegangan di kawasan itu semakin memburuk.
Sudah sekitar 800 ribu warga sipil terpaksa mengungsi karena perang. Pasukan Presiden Bashar al-Assad sudah bertempur melawan pasukan yang didukung Turki selama bertahun-tahun di utara Provinsi Idlib.
Namun baru beberapa hari terakhir ini Damaskus dan Ankara menggelar serangan langsung ke lawan masing-masing. Turki mengatakan mereka membalas serangan setelah pasukan Suriah membunuh lima pasukan mereka di Idlib.
"Ketegangan tampaknya terus berlanjut sepanjang Rusia dan Turki tidak dapat menyepakati gencatan senjata yang baru," kata pengamat Turki di International Crisis Group, Berkay Mandıracı, seperti dilansir NBC News pada Jumat (14/2).
Walaupun proses perundingan antara Turki dan Rusia terus berlangsung, tapi tidak ada gencatan senjata atau penurunan ketegangan yang sudah disepakati. Presiden Turki Reccep Tayyep Erdogan justru mengancam jika ada pasukan Turki yang terluka maka ketegangan tidak hanya di sekitar Idlib.
"Kami akan menghantam pasukan rezim di manapun tanpa membatasi diri kami sendiri di Idlib dan batas-batas memorandum Sochi," kata Erdogan kepada anggota Partai AK.
Memorandum Sochi adalah kesepakatan gencatan senjata antara Rusia dan Turki pada 2018. Kesepakatan itu menciptakan zona de-eskalasi di Idlib. "Kami tidak akan menunggu hasil pertemuan-pertemuan yang tiada akhirnya," kata Erdogan.
Ia menuduh Rusia dan Assad menyerang warga sipil Idlib secara langsung. Moskow membantah tuduhan tersebut dan mengatakan justru kelompok teroris yang bersembunyi dengan menggunakan 'tameng manusia'.
Sepanjang konflik terjadi, pemerintah Suriah selalu membantah tuduhan serangan terhadap warga sipil. Dalam pernyataannya Rabu (12/2) lalu Kementerian Pertahanan Rusia menyalahkan Turki atas 'krisis' yang terjadi di zona de-eskalasi di Idlib.
Rusia menuduh Turki gagal memisahkan antara pasukan oposisi yang moderat dengan 'teroris'. Kantor berita Associated Press melaporkan pasukan Suriah termasuk pasukan pemberontak dan kelompok radikal yang didukung dan dilatih Turki menentang kekuasaan Assad.
Krisis Idlib terjadi ketika Turki mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dan semakin dijauhkan oleh masyarakat internasional. Saat negara-negara timur Mediterania yakin Siprus, Mesir, Yunani, dan Israel membuat kesepakatan tentang eksplorasi hidrokarbon, Turki tidak diikutsertakan dalam kesepakatan itu.
Hal ini memaksa Turki membuat kesepakatan maritim dan keamanan dengan pemerintah Libya yang diakui PBB. Pakar hubungan Rusia-Turki dari Marmara University, Emre Ersen, mengatakan Turki dan Rusia membuat gerakan seakan-akan mencoba untuk 'memperkuat jabat tangan mereka' sebelum mereka membuat perjanjian baru di Idlib yang menurut Ersen 'tak terelakkan'.
"Turki enggan membuat krisis baru dengan Rusia seperti yang terjadi pada tahun 2015," kata Ersen.
Pada 2015 Rusia menerapkan sanksi kepada Turki setelah Ankara menembak jatuh pesawat Rusia di Suriah. "Sepanjang operasinya Rusia berpindah-pindah antara fase militer dan fase diplomatik, memperlambat kemajuan, tapi meringankan Rusia dan pro-rezim, baik secara teritorial maupun diplomatik," kata lembaga non-profit Institute for the Study of War dalam pernyataan mereka pekan lalu.
Direktur German Marshall Fund Ozgur Unluhisarcikli mengatakan Erdogan tidak sekedar menggertak. Menurutnya Erdogan tidak hanya mengancam untuk mengintervensi Suriah karena dia sudah melakukannya.
Unluhisarcikli mengatakan Suriah tidak mungkin mampu menghadapi serangan Turki walaupun dibantu oleh Rusia. Turki memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO.
Ia berpendapat mungkin Turki mendapat dukungan dari pernyataan pejabat-pejabat Amerika Serikat baru-baru ini. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengecam serangan Suriah di Idlib. Perwakilan Khusus AS untuk Suriah James Jeffrey pun menyuarakan dukungan AS.
Sementara itu warga sipil terjebak dalam pertempuran di Idlib. Setiap harinya kekerasan mengakibatkan warga sipil terpaksa mengungsi.
"Sejak awal tahun ini, setidaknya sudah 200 orang terbunuh karena kekerasan, termasuk 84 orang anak-anak," kata Direktur Kebijakan Regional International Rescue Committee (IRC) Misty Buswell kepada NBC News.