Ahad 16 Feb 2020 07:10 WIB

Hoaks Corona Picu Naiknya Xenofobia Ras Asia di Amerika

Warga Amerika terprovokasi dengan isu tentang merebaknya corona.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES – Sebuah selebaran di daerah Carson Los Angeles, Amerika Serikat (AS), memberi tahu penduduk untuk menghindari bisnis Asia-Amerika karena wabah virus corona. Dengan berbekal logo Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), selebaran palsu ini menebarkan ketakutan.

Rasa takut akan terserang virus yang bermula dari Wuhan, Cina, ini membuat seorang siswa sekolah menengah Los Angeles dipukuli dan dirawat di rumah sakit. Dia mendapatkan perlakuan kasar setelah siswa lain mengatakan Dia adalah orang Asia-Amerika dengan virus corona.

Baca Juga

Peristiwa lainnya terjadi dengan lebih dari 14 ribu orang menandatangani petisi yang mendesak sekolah-sekolah di daerah Alhambra untuk libur sementara. Padahal, Los Angeles terkonfirmasi hanya memiliki satu kasus virus dengan jumlah penduduk 10,1 juta jiwa.

Penindasan dan serangan orang keturunan Asia-Amerika dilaporkan dari New York ke New Mexico. Hal ini dipicu oleh ketakutan yang tidak berdasar mengaitkan mereka dengan virus yang berasal dari Cina yang sudah terindetifikasi 15 kasus di seluruh AS.

Dengan populasi Asia-Amerika terbesar di negara bagian AS, pejabat di Kalifornia secara agresif berusaha untuk mengatasi kebencian ras menyebar. "Kami tidak akan berdiri untuk kebencian," kata Pengawas Wilayah Los Angeles Hilda Solis.

Prasangka yang ada terhadap orang-orang Asia telah digabungkan dengan gambar-gambar media dari Cina untuk menciptakan kekhawatiran. Berita-berita tersebut seakan menunjukan orang dengan ras Asia lebih cenderung akan menyebarkan virus kepada penduduk lainnya.

Kepala Dewan Kebijakan dan Perencanaan Asia Pasifik, Manjusha Kulkarni, melihat ada kebutuhan mendesak akan informasi yang utuh untuk memisahkan fakta dan hoaks tentang virus corona. "Bisnis dan pemilik restoran telah melihat penurunan tajam dalam perlindungan mereka. Kami hanya memiliki satu kasus virus corona di sini, di LA," kata Kulkarni tentang tempat bisnis dengan pemilik Asia.

Sentimen anti-Asia muncul di wilayah itu pada 2003 ketika wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) menyebar. Wabah ini pun  berasal dari Cina dan membuat banyak warga di AS ketakutan.

Tapi, saat itu media sosial bukan sesuatu yang umum, berbeda dengan saat ini. Media sosial menjadi pemberi pengaruh besar masyarakat mengonsumsi informasi termasuk hoaks yang akhirnya memperkuat rasisme, terlebih lagi ketika wabah virus corona menyebar luas.

Rasisme ini bahkan menguat ketika warga Asia-Amerika menggunakan masker di tempat umum. Peristiwa ini dialami oleh Yiheng Yu yang bekerja sebagai desainer di Kota New York.

Rekan kerja di kantor tempat Yu berkerja banyak yang baru kembali dari Cina. Sebagai pencegahan, dia dan banyak orang di sekelilingnya mengenakan masker. Namun, Pada suatu kesempatan ketika dia mengenakan masker di luar kantornya, Yu didatangi seorang wanita.

"Dia mulai berteriak, 'Apakah kamu Gila? Keluar dari sini'. Aku sadar itu karena aku memakai masker," ujar Yu.

Anggota Majelis Negara Bagian New York yang mewakili Distrik Queens, Ron Kim, menyatakan bahkan batuk dapat memicu rasa takut untuk orang lain. Padahal, wilayah itu memiliki populasi besar warga Asia dan Asia-Amerika. 

"Saya punya anggota staf yang berada di stasiun kereta Albany dan dia batuk sedikit dan seseorang mendekatinya bertanya apakah dia terkena virus," kata Kim.

Kim bahkan memutuskan pada awal Februari mendirikan Dewan Penasihat Kesehatan Asia-Amerika. Lembaga itu didirikan untuk memberikan edukasi pada warga New York tentang virus corona.

"Kita hidup dalam masyarakat yang sangat dihantui oleh rasa takut, jadi jika kita menambahkan lapisan tambahan itu pasti akan terjadi, orang akan menjadi buruk," kata Kim. Dwina Agustin/reuters

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement