REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah Israel dilaporkan mencemaskan kemungkinan negara-negara Eropa mengakui negara Palestina. Hal itu dilakukan sebagai reaksi Eropa atas rencana perdamaian yang disusun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn berada di belakang inisiatif ini (mengakui negara Palestina)," kata beberapa pejabat Israel, dikutip Ynet News, Ahad (16/2).
Menteri luar negeri negara anggota Uni Eropa dijadwalkan menggelar pertemuan rutin bulanan pada Senin (17/2). Pada kesempatan itu, mereka akan turut membahas konflik Timur Tengah. Rencana perdamaian yang digagas Trump dikabarkan turut dibicarakan.
Para pejabat Israel khawatir reaksi keras negara-negara Eropa terkait rencana Trump akan muncul pada akhir pertemuan tersebut. Pada Januari lalu, Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn mendesak Uni Eropa secara resmi mengakui Palestina sebagai negara. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan proses perdamaian antara Palestina dan Israel.
Asselborn mengatakan saat ini prospek solusi dua negara Israel-Palestina sedang sekarat. "Jika Israel sampai pada titik ini, kita akan mengalami situasi yang sama seperti yang ditemui negara lain pada 2014," kata dia saat berbicara di depan Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa pada 20 Januari lalu.
Itu bukan kali pertama Asselborn meminta Uni Eropa mengakui negara Palestina. Pada November tahun lalu, dia sempat menyerukan hal serupa.
Kala itu Asselborn mengatakan mengakui negara Palestina bukanlah sebuah bantuan. "Tapi lebih sebagai pengakuan hak rakyat Palestina untuk negaranya sendiri," ujarnya, seperti dilaporkan laman Jerusalem Post.
Menurutnya, mengakui negara Palestina bukan pula berarti melawan Israel. "Pengakuan Palestina oleh seluruh (anggota) Uni Eropa akan menjadi sinyal bahwa Palestina membutuhkan tanah air, sebuah negara, sama seperti Israel," kata Asselborn.
Dia menilai kegagalan mematuhi hukuman internasional akan menghasilkan setidaknya lima juta pengungsi tambahan di Timur Tengah. Pengungsi itu tak lain adalah warga Palestina.
"Itu tidak mungkin menjadi kepentingan Israel," ucapnya.