REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan China tidak boleh menyebut semua etnis Muslim Uighur sebagai teroris. Hal itu dia sampaikan setelah melangsungkan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di sela-sela Konferensi Keamanan Munchen di Jerman, Ahad (16/2).
"Apakah Turki, Turki Uighur, China Han, Buddha, atau Kristen, tidak berhak menyebut semua Turki Uighur teroris hanya karena satu atau dua teroris berasal dari kelompok etnis tertentu," kata Cavusoglu, dikutip laman the Japan Times.
Kepada awak media, Cavusoglu mengungkapkan bahwa dia telah mengangkat masalah Uighur selama melakukan pembicaraan dengan Wang Yi. Dia menyampaikan harapan bahwa China bisa melindungi hak-hak mereka.
"Turki Uighur adalah warga negara China sehingga harapan kami adalah warga Uighur menggunakan semua hak mereka sebagai warga negara kelas satu. Ini adalah harapan kami," ujarnya.
Uighur adalah isu yang sedang menjadi sorotan dunia. Pemerintah China dituding membangun kamp-kamp interniran dan menahan lebih dari 1 juta Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. Beijing telah secara konsisten membantah tuduhan tersebut.
Ia mengatakan bahwa Xinjiang berada di bawah ancaman milisi dan separatis Islam. China membantah adanya penganiyaan atau kamp interniran di Xinjiang. China mengklaim kamp-kamp di wilayah tersebut merupakan pusat pendidikan vokasi.
Dengan pusat-pusat pendidikan itu, China berharap dapat mengakhiri ekstremisme dan kekerasan di Xinjiang. Beijing pun selalu menyatakan bahwa kebijakan ketat mereka di Xinjiang telah membuahkan hasil positif, satu di antaranya adalah tak adanya serangan teror selama tiga tahun terakhir.