REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Arab Saudi telah memiliki kedekatan hubungan yang baik dengan Amerika Serikat sejak awal 1930-an. Salah satu contoh terbesar dan paling terkenal dari ini adalah melalui adanya perusahaan minyak terkenal di dunia, Aramco.
Ketika Aramco pertama kali didirikan pada 1933, sebagian besar karyawannya adalah orang Amerika yang pindah ke Arab Saudi untuk membantu negara itu dalam mengelola minyaknya yang melimpah.
Anak-anak karyawan ini membentuk organisasi yang disebut Aramco Brats pada 1996 untuk mempromosikan persekutuan di antara mereka yang lahir, dibesarkan, dididik atau tinggal di Arab Saudi.
Organisasi ini menyelenggarakan reuni setiap tahun. Selain itu, organisasi ini juga mengirimkan buletin secara teratur, dan bahkan menawarkan bantuan untuk mendapatkan akta kelahiran dan dokumen resmi lainnya.
Hidup sebagai orang Amerika di Saudi rupanya tidak sesulit yang dibayangkan orang umumnya. Terlepas dari perbedaan budaya, bahasa, dan aturan baru yang harus mereka sesuaikan, kehidupan orang Amerika di Saudi justru dirasa menyenangkan bagi mereka.
Seperti yang diungkapkan Manajer Publisitas dari Reuni Ekspatriat Aramco, Alison Hooker, yang tiba di Dhahran, kota di provinsi timur Saudi, pada Desember 2006. Dhahran merupakan kota yang menjadi pusat administrasi industri minyak Saudi.
Dia menceritakan soal kedatangannya ke Saudi. Suaminya, Nigel, adalah seorang ahli paleontologi yang ditawari pekerjaan dengan Aramco dalam eksplorasi.
"Kami merasa itu akan menjadi petualangan besar bagi keluarga kami, karena anak-anak kami sudah di usia yang tepat (9 dan 11) untuk menghargai dan mendapat manfaat dari tinggal di negara dan budaya lain," kata Hooker kepada Arab News, dilansir Ahad (16/2).
Dia mengungkapkan, kesannya terhadap Arab Saudi telah banyak berubah dalam 13 tahun dia berada di negara tersebut. Pasalnya, kesan pertama yang dia rasakan adalah aturan dan batasan.
"Anda tidak bisa melakukan ini, Anda tidak bisa pergi ke sana, Anda tidak bisa mengambil foto, Anda tidak bisa mengemudi (sebagai wanita), merasa tidak tahu dan tidak nyaman sebagai orang Barat tentang bagaimana berperilaku tepat di perusahaan Saudi, dan berusaha untuk tidak memasuki kedai kopi melalui pintu yang salah," ujarnya.
Namun beruntung, teman-teman Saudinya membantunya dengan memberi tahu soal budaya dan keyakinan di sana. Dengan bantuan mereka, Hooker memperoleh pemahaman yang lebih dalam, rasa hormat dan penghargaan terhadap kehidupan di Kerajaan Saudi.
"Sekarang, rasanya seperti pulang ke rumah. Saya pernah merasa cemas saat saya datang, sekarang saya merasakan sebuah kepekaan hubungan," lanjutnya.
Kehidupan orang Amerika di Saudi juga digambarkan dalam buku anekdot oleh orang-orang Amerika yang telah menghabiskan waktu di Saudi antara 1938 dan 1998. Buku tersebut diterbitkan Yayasan Raja Abdulaziz untuk Penelitian dan Arsip pada 2014 lalu.
Buku berjudul "Forever Friends" itu penuh dengan cerita tentang masa kanak-kanak yang dihabiskan untuk berteman dengan para putri, menerima koin emas dari raja, dan mengatasi hambatan bahasa untuk membangun persahabatan yang langgeng.
Salah satu foto menggambarkan para wanita Amerika yang tergabung dalam kelompok Scout Dhahran Girl Den Mothers pada akhir 1960-an.
Pada tahun 2014 Kota Tua Jeddah Al Balad, menjadi situs World Heritage UNESCO.
John MacKenzie, yang tinggal di Arab Saudi dari 1950 hingga 1970, menulis, "Tidak pernah lagi dalam hidup saya, saya mengalami keramahan seperti itu. Saya tidak akan pernah melupakan aroma air mawar, rasa kurma manis dan susu kambing selama saya hidup."
Namun, hubungan antara kedua negara ini tidak berhenti sampai disitu. Banyak orang Amerika masih membuat rumah mereka di Saudi, dan tidak hanya di wilayah pantai timur. Wakil dekan dari College of Humanities di Prince Sultan University, Alia Mitchell, telah menetap di Saudi selama 20 tahun.
Dia pindah ke Kerajaan pada 1998 dari AS. Namun, ia sempat menghabiskan waktu satu tahun di Uni Emirat Arab (UEA), sedangkan sisanya ia tinggal di Riyadh, Arab Saudi.
Sebagai seorang Muslim, Mitchell berpikir bahwa lingkungan di Arab Saudi sangat cocok untuknya dan dia merasa sulit membayangkan hidup di tempat lain. "Ini rumah bagi saya," ujar Mitchell.
Sejak kedatangannya hingga saat ini, Saudi memang perlahan berubah. Namun, Mitchell justru mengatakan bahwa pertanyaan tentang seberapa banyak Saudi berubah adalah hal mudah, namun sulit untuk dijawab.
"Lebih dari 20 tahun, di mana pun Anda tinggal, Anda akan melihat perubahan di masyarakat. Sekarang dengan semua kebijakan baru yang diarahkan untuk memberdayakan perempuan, ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk unggul dan diakui atas kerja keras mereka," katanya.
Mitchell menilai perubahan yang paling menakjubkan adalah melihat lompatan dalam kualitas pendidikan dan melek huruf. Pasalnya, saat ia masih di sekolah pascasarjana dan melakukan penelitian, dia melihat tingkat melek huruf di Saudi sebagai salah satu negara yang dia minati ketika dia menyelesaikan studinya.
Di banyak negara lain, menurutnya, butuh waktu lebih lama untuk menaikkan tingkat melek huruf. Namun, Arab Saudi mampu melakukannya dengan tempo yang lebih cepat. Dia juga memuji kerja keras yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan negara ini secara keseluruhan.
"Ini bukan hanya tentang duduk di ruang kelas dan mendapatkan sertifikat Anda dan berhenti di sana. Mereka ingin memastikan bahwa ada individu yang memenuhi syarat yang keluar ke dalam masyarakat untuk memperbaiki kondisi," tambahnya.