Selasa 18 Feb 2020 07:29 WIB

Presiden Abbas Bicara dengan Kanselir Jerman Soal Konflik

Presiden Palestina bicara dengan Angela Merkel soal konflik Palestina Israel

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Senin (17/2). Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Majdi Mohammed
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berbicara dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Senin (17/2). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan percakapan via telepon dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, Senin (17/2). Mereka membahas tentang rencana perdamaian Timur Tengah yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Pada kesempatan itu, Abbas menerangkan tentang penolakan sejumlah pihak, termasuk Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, Uni Afrika, dan Uni Eropa, terkait rencana perdamaian Trump. China, Rusia, dan Jepang juga telah mengutarakan dukungannya terhadap solusi dua negara berdasarkan kerangka acuan internasional.

Baca Juga

Kepada Merkel, Abbas memberikan penjelasan terperinci tentang inisiatif alternatif untuk mengganti rencana perdamaian Trump yang dinilai hanya memihak Israel. Inisiatif tersebut telah dipresentasikan di Dewan Keamanan PBB dan disepakati mayoritas negara dunia.

Inisiatif itu tak lain membangun mekanisme multilateral internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. "Dia (Abbas) meminta Jerman bergabung dengan mekanisme ini untuk mensponsori negosiasi berdasarkan legitimasi internasional dan Prakarsa Perdamaian Arab," kata kantor berita Palestina WAFA dalam laporannya.

Merkel mengatakan Jerman akan terus mendukung perdamaian Israel-Palestina berdasarkan visi solusi dua negara. Dia menekankan bahwa negaranya akan melanjutkan perannya untuk mencapai dan mewujudkan hal tersebut.

Rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun Trump menuai banyak kritik dan protes. Selain karena tak melibatkan Palestina dalam prosesnya, rencana perdamaian itu pun sangat memihak dan memprioritaskan kepentingan politik Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement