REPUBLIKA.CO.ID, YAOUNDE - PBB mencatat sebanyak 22 warga desa termasuk 14 anak-anak ditemukan terbunuh di daerah anglophone (yang berbahasa Inggris) di Kamerun. Pihak partai oposisi negara menyalahkan pembunuhan terhadap tentara.
Pejabat lokal dengan koordinasi kemanusiaan PBB OCHA, James Nunan, mengatakan pasukan bersenjata melakukan pembantaian pada Jumat lalu waktu setempat di desa Ntumbo, Wilayah Barat Laut. "Hingga 22 warga sipil tewas, termasuk seorang wanita hamil," kata Nunan dikutip Aljazirah, Selasa (18/2).
Dia mengatakan 14 anak termasuk yang terbunuh dan sembilan di antaranya adalah anak di bawah usia lima tahun. "Sebelas anak-anak adalah perempuan," kata Nunan yang juga menjabat sebagai kepala kantor OCHA untuk wilayah Northwest dan Southwest.
Di sana merupakan rumah bagi minoritas besar berbahasa Inggris di negara Afrika Barat. Seorang saksi mata yang tidak iNgin menyebutkan jati dirinya karena takut akan pembalasan, mengonfirmasi pembantaian itu.
Dia mengakui membantu mengubur 21 mayat di empat kuburan pada empat kompleks berbeda dengan bantuan seorang rekan. "Sembilan rumah juga dibakar dan sejumlah warga desa yang tak dikenal mengungsi," kata saksi tersebut.
Untuk diketahui, gerakan separatis di daerah telah memerangi pemerintah pusat selama tiga tahun belakangan. Salah satu dari dua partai oposisi utama negara itu, Gerakan Kelahiran Kembali Kamerun (MRC), mengeluarkan pernyataan.
"Rezim diktator (dan) kepala tertinggi pasukan keamanan dan pertahanan terutama bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan ini," kata pernyataan MRC.
Satu tokoh kunci dalam gerakan separatis, pengacara Agbor Mballa, dalam sebuah unggahan Facebook juga menuduh pasukan pertahanan negara melakukan pembunuhan. Namun, seorang pejabat militer membantah tuduhan itu dengan mengatakan: "Salah". Tidak ada komentar resmi lainnya yang segera tersedia.
"Mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan keji ini harus dibawa ke pengadilan. Budaya impunitas ini harus dihentikan," ujar Direktur Pusat Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Afrika, Felix Agbor Balla dalam Twitternya.
Konflik antara tentara Kamerun dan para pejuang berbahasa Inggris yang berusaha membentuk negara dan memisahkan diri (dinamakan Ambazonia) dimulai setelah pemerintah menindak keras para pengunjuk rasa damai yang mengeluh dipinggirkan oleh mayoritas berbahasa Perancis. Konflik telah memaksa setengah juta orang melarikan diri dan menghadirkan Presiden Paul Biya dengan ancaman terbesarnya dalam hampir 40 tahun pemerintahan.
Konflik tiga tahun telah menewaskan lebih dari tiga ribu jiwa dan memaksa lebih dari 700 ribu orang meninggalkan rumah mereka. Pembunuhan pada Jumat lalu terjadi setelah pemilihan umum pada tanggal 9 Februari yang dinodai oleh kekerasan di wilayah-wilayah yang diklaim dilakukan baik oleh separatis maupun pasukan keamanan.
Separatis bersenjata mencegah orang-orang untuk menggunakan hak suaranya dengan mengancam pembalasan, sementara tentara pemerintah sangat hadir. Separatis menculik lebih dari 100 orang dan membakar properti menjelang pemilihan, kata Human Rights Watch (HRW).
MRC pun menolak untuk mengajukan calon tunggal setelah pemimpinnya, Maurice Kamto menyerukan pemboikotan pemilihan bulan ini. Hingga kini pemerintah Kamerun belum mengumumkan hasil pemilihan atau angka partisipasi.