Rabu 19 Feb 2020 12:07 WIB

Duka Warga Idlib: Dingin Akhirnya Merenggut Hidup Mereka

Warga Idlib yang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi semakin banyak setiap hari.

Kondisi pusat kota Idlib, Suriah
Foto: The Guardian
Kondisi pusat kota Idlib, Suriah

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Kamran Dikarma

Baca Juga

Suhu dingin yang menusuk membekap Provinsi Idlib, Suriah. Pada 11 Februari malam, Mustafa Hamadi dan keluarganya masih terjaga di tenda darurat di Desa Killi.

Mereka menggigil menahan terpaan angin yang menyelusup ke dalam tenda. Mustafa menyaksikan tubuh istrinya Amoun, putrinya Huda yang berusia 12 tahun, dan cucu perempuannya Hoor yang berumur tiga tahun, tergolek tak berdaya.

Dengan agak cemas, dia akhirnya berinisiatif memindahkan gas pemanas ke dalam tenda. Mustafa ingin keluarganya tetap hangat dan dapat menjemput lelap. Namun, nasib berkata lain, keesokan harinya Mustafa dan seluruh keluarganya ditemukan meninggal.

Adik Mustafa, Nizar Hamadi, mengungkapkan, kakaknya sebenarnya tahu bahwa tenda darurat yang terbuat dari pipa logam dan lembaran nilon tak memiliki ventilasi yang baik. Tenda itu tak banyak melindungi Mustafa serta keluarganya dari hawa dingin.

"Pasti minus sembilan derajat Celcius malam itu. Kakak saya tahu lebih baik daripada membawa pemanas gas ke ruang tertutup tanpa ventilasi udara, tapi pilihan apa yang dia punya?" kata Hamadi, dikutip laman Aljazirah, Selasa (18/2).

Mustafa dan keluarganya telah tiada. Sementara itu, kehidupan Hamadi juga tak lebih baik. Dia mengatakan, sekolah yang menjadi tempat bernaungnya sebenarnya tak layak dihuni. Menurutnya, warga Idlib yang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi semakin banyak setiap harinya. "Orang-orang yang telantar seperti bola salju yang bergerak, semakin besar setiap hari," kata Hamadi.

Cuaca dingin tak pelak memperburuk keadaan. Beberapa hari lalu, seorang bayi berusia lima bulan yang tinggal di kamp Kalbeet, membeku dan akhirnya meninggal. Dia bernama Areej Majid al-Hmeidi.

Pejabat setempat Abu Anwar mengatakan, keluarga Areej enggan menceritakan kejadian itu kepada media. "Mereka menyalahkan diri sendiri karena tidak membuatnya cukup hangat untuk tetap hidup," ujar Anwar.

Menurut dia, kondisi yang dihadapi para pengungsi memang sangat mengerikan. "Orang-orang membakar sampah agar tetap hangat. Ada 800 keluarga di sini (kamp Kalbeet) atau sekitar 5.500 orang, dan hanya ada satu organisasi yang membantu kami menyediakan air," katanya.

Peneliti Human Rights Watch di Suriah Sara Kayyali mengatakan, Idlib menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia menyoroti skala perpindahan yang melampaui kapasitas para pekerja atau relawan kemanusiaan.

"Masalah lainnya adalah bahwa kekerasan, dalam beberapa kasus serangan udara, tidak hanya mengakibatkan perpindahan besar-besaran, tapi juga berdampak pada kemampuan untuk menyediakan tempat berlindung dan makanan secara berkelanjutan," tutur Kayyali.

Keterangan Kayyali diamini Mayada Qabalan, seorang pekerja kesehatan di Union of Medical Care and Relief Organisation (UOSSM) yang bertugas di sebuah rumah sakit di Sarmada Idlib. Menurut dia, kondisi para pengungsi telah mencapai titik puncak.

"Apa yang saya lihat dengan mata saya sendiri sangat memilukan. Para keluarga tidur di bawah pohon tanpa penutup," kata Qabalan.

Harga sebuah tenda diperkirakan 150 dolar AS atau sekitar dua juta rupiah (dengan kurs Rp 13.700 per dolar AS). Namun, menurut Qabalan, kelompok-kelompok kemanusiaan sangat kekurangan sumber daya dan tenaga untuk menawarkan bantuan.

Pasukan Suriah dan sekutunya Rusia mengintensifkan serangan ke Idlib sejak Desember tahun lalu. Mereka berusaha merebut kembali wilayah itu dari kelompok oposisi bersenjata. Idlib diketahui merupakan satu-satunya wilayah yang masih dikuasai kelompok oposisi bersenjata Suriah. n reuters ed: yeyen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement