REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perdana Menteri Scott Morrison menyatakan Australia akan mengadakan penyelidikan luas mengenai penyebab kebakaran hutan pada Kamis (20/2). Kebakaran yang terjadi selama berbulan-bulan telah menewaskan 33 orang dan meratakan area seluas Korea Selatan.
Saat ini petugas pemadam kebakaran dapat menahan beberapa lusin titik kebakaran yang masih menyala. Namun, Morrison mengatakan Royal Commission akan menyelidiki selama enam bulan kesiapan untuk kebakaran hutan di masa depan.
Penyelidikan itu pun menjadi upaya menanggapi kebutuhan akan perubahan hukum untuk mengklarifikasi sosok yang bertanggung jawab untuk mengawasi otoritas darurat. "Royal Commission ini melihat hal-hal praktis yang harus dilakukan untuk menjaga agar warga Australia lebih aman dan lebih terjaga di musim panas yang kering, kondisi di mana warga Australia akan hidup di masa depan," kata Morrison.
Morrison telah memicu kemarahan publik yang luas dengan menolak untuk secara langsung menghubungkan kebakaran hutan dengan perubahan iklim. Dia bersikeras menghilangkan vegetasi yang mudah terbakar adalah langkah yang lebih penting.
Terlebih lagi, Morrison justru mengambil liburan ke Hawaii pada November saat kebakaran mulai terjadi. Atas sikap itu, publik pun mendesaknya untuk menyampaikan permintaan maaf.
Dengan tekanan yang terus meningkat, Morrison pada Januari mengerahkan 6.500 tentara cadangan untuk mendukung otoritas negara dan menjadikan itu sebagai wilayah abu-abu. Hal ini merujuk pada pengelola kebakaran hutan menjadi tanggung jawab pemerintah negara bagian dan pemadam kebakaran, bukan pemerintah pusat.
Australia telah berbulan-bulan memerangi ratusan titik kobaran api yang dimulai pada September tahun lalu. Pada saat itu terjadi musim api karena musim panas yang luar biasa panjang dipicu oleh kekeringan selama tiga tahun. Para ahli mengaitkan kebakaran Australia dengan perubahan iklim.