Sabtu 22 Feb 2020 11:54 WIB

Myanmar akan Adili Lebih Banyak Tentara yang Bantai Rohingya

Tujuh tentara telah dipenjara selama 10 tahun karena membunuh 10 pria Rohingya

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nidia Zuraya
Warga Rohingya berdoa dalam peringatan satu tahun kekerasan tentara Myanmar.
Foto: AP Photo/Altaf Qadri
Warga Rohingya berdoa dalam peringatan satu tahun kekerasan tentara Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Tentara Myanmar mengatakan  pihaknya akan menyeret lebih banyak pasukan ke pengadilan militer atas dugaan pelanggaran terhadap Muslim Rohingya. Hal ini dilakukan setelah komisi yang ditunjuk pemerintah melaporkan, bahwa tentara melakukan kejahatan perang terhadap minoritas.

 

Baca Juga

Militer mengatakan, pihaknya telah mempelajari laporan panel dengan sangat terperinci dan sedang meninjau tuduhan tersebut. Pada Januari, panel menyimpulkan, bahwa beberapa anggota pasukan keamanan bertanggung jawab atas kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia selama tindakan keras yang dipimpin militer terhadap kelompok minoritas Rohingya pada 2017.

Namun, Myanmar mengatakan, para tentara memerangi kampanye kontra-pemberontakan yang sah terhadap gerilyawan yang menyerang pos-pos keamanan. Panel yang ditunjuk pemerintah menyalahkan milisi Rohingya karena menyerang 30 pos polisi dan memprovokasi tindakan keras.

Kendati demikian, tentara Myanmar mengatakan, masih menyelidiki dugaan pelanggaran di dua desa. Pertama di desa Maung Nu, tempat 200 Muslim terbunuh setelah berlindung di satu rumah. Kedua di desa Chut Pyin, tempat puluhan lainnya diduga telah tewas.

"Pengadilan Penyelidikan akan menyelidiki insiden tersebut dan persidangan Pengadilan Militer akan diikuti sesuai dengan hukum dan sejalan dengan proses Peradilan Militer," kata pernyataan militer.

Dua juru bicara militer menolak beberapa panggilan telepon dari Reuters untuk meminta komentar lebih lanjut. Salah satu warga desa Maung Nu mengatakan kepada penyelidik yang ditunjuk pemerintah, bahwa tentara Myanmar mengepung desa setelah gerilyawan menyerang pos keamanan terdekat.

Para tentara, kata dia, menyerbu sebuah rumah tempat banyak penduduk desa berlindung yang akhirnya menewaskan sebanyak 200 orang.

Di desa Chut Pyin, warga mengatakan tentara mengepung desa, menggunakan peluncur roket untuk membakar rumah-rumah dan menembak tanpa pandang bulu. Diduga banyak warga yang tewas dalam insiden itu. Semuanya, tercatat dalam laporan yang dirilis pada Januari.

Pasukan mengatakan kepada penduduk setempat, yang diduga berpartisipasi dalam perusakan untuk secara sistematis memusnahkan korban meninggal. Setelah itu seorang warga Buddha mengatakan kepada panel yang didukung pemerintah.

"Ada begitu banyak mayat di desa Chut Pyin sehingga ketika mereka dibakar, tidak semua bisa dibakar menjadi abu; beberapa dikuburkan, dan beberapa mayat ditarik terpisah oleh binatang liar," kata warga Buddha itu.

Militer mengatakan dalam pernyataannya bahwa pihaknya masih mengkaji insiden lain yang disebutkan dalam laporan oleh panel yang ditunjuk pemerintah. Laporan tersebut termasuk dugaan pembantaian umat Hindu oleh gerilyawan Rohingya yang menyebut diri mereka Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya, yang dibantah kelompok itu.

Myanmar memang telah berjanji untuk melakukan penyelidikan sendiri. Negara pimpinan Aung San Su Kyi itu mengatakan mekanisme keadilan internasional melanggar kedaulatannya.

Pengadilan militer telah memulai persidangan pada November tahun lalu terhadap tentara dan petugas dari resimen yang dikerahkan ke desa Gu Dar Pyin, tempat diduganya terjadi pembantaian lain. Sebuah pernyataan pada persidangan itu akan dirilis dalam waktu dekat.

Tujuh tentara telah dipenjara selama 10 tahun karena membunuh 10 pria dan anak laki-laki Rohingya di desa Inn Din. Namun, mereka diberikan pembebasan awal November lalu, setelah menjalani hukuman kurang dari setahun di penjara.

Ratusan ribu minoritas Muslim Rohingya telah mengungsi ke negara tetangga Bangladesh. Mereka melarikan diri dari serangan militer yang diluncurkan pada Agustus 2017. Serangan kala itu digambarkan oleh para penyelidik Amerika Serikat sebagai dieksekusi dengan niat genosida.

Myanmar kemudian menghadapi dakwaan genosida di Pengadilan Internasional, Den Haag. Hal ini terjadi setelah Gambia, negara yang mayoritas Muslim di Afrika Barat, mengajukan gugatan tahun lalu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement