REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengkritik rencana Israel membangun ribuan unit rumah di Yerusalem Timur. Menurutnya, tindakan tersebut mengancam prospek solusi dua negara.
"Langkah-langkah seperti itu akan memotong kedekatan geografis serta teritorial antara Yerusalem dan Betlehem, mengisolasi komunitas Palestina yang tinggal di daerah-daerah ini, dan mengancam kelayakan solusi dua negara (Israel-Palestina), dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara," kata Borrell dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Times of Israel, Ahad (23/2).
Dia menegaskan Uni Eropa tidak akan mengakui perubahan apa pun pada perbatasan Israel pra-1967. Borrell mendesak Israel mempertimbangkan kembali rencananya. Sebelumnya, Prancis juga telah melayangkan kritik kepada Israel.
Prancis menegaskan menegaskan semua proyek pembangunan di wilayah pendudukan, ilegal menurut hukum internasional. Selain melanggar hukum internasional, proyek permukiman di Yerusalem Timur juga akan menghambat proses solusi dua negara di lapangan.
"Prancis mendesak Pemerintah Israel mempertimbangkan kembali keputusan ini dan menahan diri dari tindakan sepihak," kata Kementerian Luar Negeri Prancis.
Pada Kamis (20/2), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan rencana membangun 3.000 rumah untuk penduduk Yahudi di Givat Hamatos. Sebanyak 2.200 rumah juga akan dibangun di Har Homa.
Netanyahu mengaku telah mencabut pembatasan pembangunan di Givat Hamatos serta menyetujui proyek permukiman di Har Homa. Rencana pembangunan di Givat Hamatos pertama kali diajukan pada 2012. Namun hal tersebut dikecam oleh masyarakat internasional. Sebab proyek itu memutus lingkungan Palestina di Beit Safafa dan Sharafat dari Tepi Barat.
"Yerusalem sedang dibangun dan diperluas. Kami menghubungkan semua bagian dari Yerusalem yang bersatu. Saya telah menghilangkan semua batasan, dan sekarang Yerusalem sedang dibangun di bawah otoritas saya," ujar Netanyahu.
Saat ini terdapat lebih dari 100 permukiman ilegal Israel di wilayah Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Permukiman itu dihuni sekitar 650 ribu warga Yahudi Israel. Masifnya pembangunan permukiman ilegal dinilai menjadi penghambat terbesar mewujudkan solusi dua negara antara Israel dan Palestina.