REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abe Tadanao, dalam usia yang tidak muda, masih segar dan gesit. Itu terlihat ketika ia menaiki puluhan anak tangga demi menunjukkan tanggul di kota kecil Hisanohama, wilayah pesisir Iwaki, Prefektur Fukushima, timur laut Jepang.
Laki-laki 74 tahun itu mengingat bahwa sembilan tahun yang lalu, rumah-rumah di desanya bersisian langsung dengan laut. Tanggul baru setinggi 10 meter itu menjadi salah satu simbol pembangunan kembali usai tsunami yang membuat wilayah Hisanohama porak poranda pada sore hari 11 Maret 2011.
“Awalnya terjadi gempa magnitudo 9.0 yang tidak biasa, lamanya 180 detik. Setelah itu gelombang tsunami mulai muncul dari sungai di sana,” kata Tadanao sembari menunjuk sungai yang membelah desa, mengalirkan air menuju laut.
Ketika itu ia tidak di rumah, sehingga dia harus terpisah dari sang istri. Dalam keadaan peringatan dini tsunami, dia dievakuasi ke tempat lebih tinggi oleh tim pemadam kebakaran. Sementara di tempat lain, sang istri berkukuh membujuk seorang nenek agar mau ikut dipindahkan ke tempat aman.
Kata Tadanao, yang kini jadi sukarelawan badan penanggulangan bencana kota kecil itu, ada tiga jenis orang semasa bencana terjadi: yang bisa dievakuasi, yang tidak bisa dievakuasi, dan yang tidak mau dievakuasi.
Beruntung si nenek menuruti bujukan istri Tadanao. Ia bisa dibawa bersama ke lokasi evakuasi, sebelum gelombang tsunami dari laut setinggi hampir sembilan meter menerjang.
Sepuluh menit pascatsunami, bencana lain terjadi. Api kebakaran hebat muncul dan bertahan seharian. Setelah porak poranda oleh air, puing-puing rumah juga hangus oleh api.
Satu hari kemudian, Tadanao beruntung bisa bertemu kembali dengan sang istri. Walau saat itu “dia berada dalam keadaan takut luar biasa,” kenang Tadanao.
Dan ternyata bencana belum selesai. Ledakan dahsyat tiga reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi terjadi kemudian di hari yang sama. Abe dan warga setempat baru tahu pada dini hari 12 Maret 2011.
Hisanohama ke PLTN Daiichi berjarak 32 kilometer. Seluruh warga pun dievakuasi demi mencegah terkena dampak buruk. Kota kecil itu dikosongkan setidaknya selama satu bulan.
Pascabencana
Sebanyak 64 orang dilaporkan meninggal dunia sesaat setelah bencana itu. Sepuluh orang lainnya dinyatakan hilang.
Sebuah monumen—terletak tak jauh dari tanggul—berbentuk tiga buah batu berdiri sebagai tanda penghormatan bagi para korban.
Pada monumen itu terukir semua nama mereka, baik yang meninggal dunia atau hilang. Satu bagian di tengah memuat peringatan agar semua warga waspada terhadap bencana.
Jika terjadi gempa dahsyat,
pasti akan muncul tsunami.
Lari ke tempat tinggi,
dan jangan dulu kembali.
Demikian kira-kira makna peringatan yang diukir dalam aksara kanji tersebut. Kerja pemerintah usai bencana yang menghantam berturut-turut itu tentu tidak cukup jika hanya sekadar benda simbolis.
Pembangunan infrastruktur dilakukan kembali secara bertahap. Hingga empat tahun lalu lingkungan Hisanohama dengan rumah-rumah baru dapat dibangun menjadi hampir seperti sedia kala.
Bagi sekitar 136 keluarga yang sampai saat ini belum dapat membangun kembali rumah mereka yang hancur, sebuah rumah susun disediakan. Di samping membangun kembali benda mati, mental warga yang menjadi korban sekaligus saksi kehebatan alam juga sudah semestinya tidak luput dari perhatian.
“Saya sendiri tidak begitu merasa trauma, tetapi istri saya harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan lamanya karena mengalami trauma berat,” ucapnya.
Pelayanan konseling psikologi juga dibuka pemerintah, demi menjamin masyarakat tidak menjadi “korban tidak langsung” yang mengalami kematian gara-gara menderita stres akibat bencana.
Harapan Abe
Kembali ketika Hisanohama kosong, kasus penjarahan banyak terjadi. Rumor soal tingkat kontaminasi radiasi yang tinggi juga muncul.
Dari 6.300 orang yang dievakuasi keluar wilayah itu, secara bertahap hingga saat ini, sekitar 5.000 orang saja yang sudi kembali.
“Itupun kebanyakan para lansia. Anak-anak muda pergi ke kota lain. Yang tidak mau kembali meragukan radiasi udara di sini bisa sampai nol, padahal secara alamiah memang tidak bisa,” ujar Tadanao.
Data pemerintah daerah Prefektur Fukushima menunjukkan bahwa radiasi udara di wilayah Kota Iwaki pada Juli 2019 berada di angka 0,06 microsievert per jam, yang berarti sudah sama seperti sebelum bencana.
Tadanao tidak menyertakan persentase jumlah lansia berbanding anak muda di kota kecilnya. Namun, situasi di sana cukup menggambarkan pernyataan mantan pegawai pemerintah daerah itu.
Jalanan lengang, jarang ada kegiatan di luar. Sekalipun ada, semisal mengemudi mobil, berbelanja di minimarket, atau sekadar jalan sore santai, yang melakukannya adalah kakek nenek—yang katanya punya stamina anak muda.
Kelangkaan anak muda di Hisanohama berpengaruh pada terputusnya rantai penerus profesi nelayan. “Sehingga nelayan di sini rata-rata berusia 70 tahun,” kata Tadanao.
Kebanyakan anak muda mencari kerja di bidang lain di kota-kota besar. Dan, demi penghidupan yang lebih enak, mereka tidak bisa disalahkan. Terlebih, reputasi hasil tangkapan ikan dari laut Fukushima masih belum baik.
Dahulu, sebelum bencana, ikan hasil tangkapan para nelayan Hisanohama terkenal punya kualitas bagus dan dihargai mahal. Kebanyakan dibawa ke pasar di ibu kota Tokyo.
Nilainya tidak main-main, mencapai 300 juta yen, atau sekitar Rp 37 miliar per tahun.
Sekarang, aktivitas melaut pun sudah jarang dilakukan nelayan-nelayan senior itu. Dalam seminggu, biasanya hanya dua kali mereka turun menangkap ikan.
Demi menjamin keamanan serta mematuhi peraturan, sampel ikan hasil tangkapan harus dikirim ke pusat pemantauan sebelum dipasarkan. Pengujian dilakukan untuk mendeteksi tingkat kontaminasi radiasi.
“Data yang kami dapat belakangan ini, tingkat radiasi pada ikan setelah pengujian adalah sekitar enam becquerel per kilogram. Sementara standar di Jepang, angkanya 100 becquerel per kilogram,” kata Tadanao meyakinkan bahwa angka kontaminasi sebetulnya sudah sangat rendah.
Merasa lingkungannya sudah cukup pulih, sebagai warga lokal yang lahir dan menghabiskan masa tua di kota kecil yang sama, ia mengaku ingin mengajak anak muda kembali ke sana.
“Saya ingin melakukan sesuatu yang baru, memunculkan lapangan kerja bagi anak muda agar mereka bisa bekerja di sini,” ujar Tadanao mengutarakan harapannya.