Selasa 25 Feb 2020 18:20 WIB

Perdana Menteri Abe Dikritik Soal Penanganan Virus Corona

Abe dikritik karena memberikan mayoritas tugas penyebaran virus corona ke Menkes.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe
Foto: AP Photo/Alexander Zemlianichenko
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dikritik soal penanganan virus corona. Perdana Menteri terlama Negeri Sakura itu dinilai memberikan sebagian besar tugas mengatasi penyebaran virus corona kepada menteri kesehatannya.

Keraguan terhadap kepemimpinannya mengikis dukungan publik terhadap Abe. Jajak pendapat yang dilakukan surat kabar Jepang menunjukkan untuk pertama kalinya sejak Juli 2018 ketidakpuasan publik terhadap kinerjanya lebih besar dibandingkan kepuasannya.

Baca Juga

Hal itu dapat memutarbalikkan skenario Abe berhasil menggelar Olimpiade Tokyo yang dimulai pada Juli mendatang. Padahal, ia berhasil membawa partainya memenangkan pemilu dan melanjutkan kekuasaannya untuk periode keempat.

"Di mana kepemimpinan? Bahkan sekarang, ia tidak ada di luar sana, tidak berbicara ke publik dan menggerakan masyarakat, saya pikir semakin lama hal ini berlangsung akan merugikannya," kata professor emeritus politik Jepang Columbia University Gerry Curtis, Selasa (25/2).

Abe berhasil melewati beberapa guncangan sejak ia kembali memimpin Jepang pada Desember 2012. Tapi dukungan terhadapnya kian jatuh karena berbagai skandal baru-baru ini. Salah satunya terlalu banyak pendukungnya yang diundang ke pesta mahal untuk melihat pohon Sakura.

Jajak pendapat surat kabar konservatif Sankei menunjukkan dukungan terhadapnya turun 8,7 persen menjadi 36,2 persen. Sementara, ketidakpuasan terhadap kinerjanya naik 7,8 persen menjadi 46,7 persen.

Pemilih Jepang terpecah menjadi dua kelompok dalam melihat kerja pemerintah mengatasi wabah virus korona. Sebanyak 85 persen mengatakan mereka khawatir dengan wabah tersebut.  

"Walaupun setiap hari kegelisahan masyarakat terus tumbuh, dia (Abe) tidak menggelar konferensi pers yang tepat, di sisi lain jika ia tampil lebih sering, hanya citra buruk yang tertinggal, jadi dia menghindari itu, sesedikit mungkin ia tampil dihadapan publik," cicit salah satu pengguna Twitter Jepang yang menggunakan nama Yumidesu.

Negeri Sakura sudah dihujani kritikan dalam menangani wabah virus korona di kapal pesiar Diamond Princess. Sejak berlabuh pada 3 Februari lalu virus di kapal itu telah menginfeksi 619 orang dan menewaskan empat penumpang.

Kekhawatiran terhadap wabah ini juga terus tumbuh. Total jumlah kasus di dalam negeri sudah mencapai 159 orang termasuk satu orang meninggal dunia. Pada Selasa pemerintah Jepang mengumumkan langkah untuk menahan laju penyebaran dan kematian karena virus corona.  

"Kami berada pada tahap yang sangat kritis untuk mengakhiri penyebaran virus," kata Abe, membaca dengan cepat sebuah dokumen dalam konferensi pers.

Ia langsung meninggalkan ruangan dan memberikan tugas pada Menteri Kesehatan Katsunobu Kato untuk menjelaskan langkah-langkah itu kepada wartawan. Langkah-langkahnya antara lain meminta karyawan bekerja dari rumah, pergi dan pulang kerja secara bergiliran dan meminta penyelenggara acara melakukan pertimbangan dengan cermat.

Beberapa negara menerapkan kebijakan-kebijakan lebih jauh seperti Italia yang menjadi gerbang baru perang melawan virus corona. Negara itu sudah menutup kota-kota yang terinfeksi paling parah, meliburkan sekolah-sekolah dan menghentikan karnaval di Venice.  

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah meminta anggaran sebesar 2,5 miliar dolar AS untuk melawan wabah. Walaupun ketua House of Representative Nancy Pelosi mengatakan anggaran itu tidak cukup untuk melawan virus.

Anggaran yang diminta Trump jauh lebih besar dibandingkan anggaran Jepang yang diambil dari anggaran cadangan sebesar 10,3 miliar yen atau 92 juta dolar AS. Walaupun kantor berita Jiji melaporkan pemerintah Jepang mempertimbangkan untuk menambah anggaran.

"Saya pikir dia (Abe) melakukan penyangkalan, mereka mencoba yakin skenario-skenario yang paling optimistis, bahkan mereka tidak benar-benar yakin," kata profesor ilmu politik Sophia University Koiichi Nakano. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement