REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdana Menteri India Narendra Modi pada Rabu meminta masyarakat untuk tenang setelah kerusuhan antara kelompok mayoritas Hindu dan minoritas Islam terjadi dalam beberapa hari terakhir. Kedua kelompok mempersoalkan undang-undang kewarganegaraan kontroversial yang baru disahkan oleh pemerintah.
Kerusuhan antarkelompok itu, menurut seorang dokter, telah menewaskan 20 jiwa dan melukai setidaknya 200 orang. Insiden itu terjadi bersamaan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama dua hari di India.
Usai kerusuhan, anggota kepolisian dan pasukan paramiliter pada Rabu berpatroli di jalanan-jalanan ibu kota dalam jumlah besar. Beberapa wilayah yang terdampak konflik pun ditinggalkan oleh warga.
Warga meninggalkan lingkungan rumahnya yang hangus saat bentrok massa pendukung dan penentang UU Kewarganegaraan India berujung rusuh di New Delhi, India.
"Perdamaian dan harmoni adalah inti dari etos kita sebagai warga negara. Saya memohon kepada para saudari dan saudara di Delhi untuk senantiasa menjaga perdamaian dan persaudaraan," kata Modi dalam unggahannya di media sosial Twitter.
Pernyataan Modi disampaikan setelah kelompok oposisi melontarkan banyak kritik terhadap kegagalan pemerintah mengendalikan dan mencegah kerusuhan, meskipun saat insiden berlangsung, aparat telah menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bom asap untuk membubarkan massa. Ketua Partai Kongres, Sonia Gandhi, salah satu oposisi PM Modi, mendesak agar Menteri Dalam Negeri Amit Shah mengundurkan diri.
Massa pendukung UU Kewarganegaraan baru India melemparkan bom molotov ke arah bangunan masjid di New Delhi, India, Senin (24/2).
Pasalnya, Shah merupakan orang yang diyakini bertanggung jawab menjaga hukum dan ketertiban masyarakat. Ribuan demonstran dari kubu penolak dan pendukung UU Kewarganegaraan bentrok setelah pemerintahan di bawah PM Modi mengesahkan beleid tersebut. UU Amandemen Kewarganegaraan (The Citizenship Amandment Act) akan memudahkan mereka yang bukan pemeluk Islam dari negara tetangga bermayoritas Muslim mendapatkan status kewarganegaraan dari Pemerintah India.
Penolak beleid mengatakan UU Kewarganegaraan bias terhadap umat Islam. Aturan itu juga diyakini mengancam konstitusi India yang sekuler.
Namun, pendukung beleid, di antaranya Partai Bharatiya Janata (BJP), mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan tidak memuat standar ganda terhadap lebih dari 180 juta Muslim di India. Dari keterangan sejumlah saksi, massa yang membawa tongkat dan pipa terlihat berjalan di wilayah utara New Delhi, Selasa, di tengah aksi pembakaran dan penjarahan.
Asap hitam tebal ikut mengepul dari sebuah pasar khusus jual-beli ban yang dibakar massa. Banyak korban selamat kena luka tembak, demikian keterangan dari rumah sakit. Saat kerusuhan berlangsung, dua masjid di wilayah utara New Delhi terbakar.
Terkait kerusuhan itu, Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) lewat unggahannya di Twitter, Rabu, mengatakan pihaknya prihatin terhadap aksi kekerasan di New Delhi dan meminta Pemerintah India "mengendalikan massa serta melindungi kelompok minoritas dan mereka yang jadi sasaran".