REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Bentrokan yang terjadi di timur laut New Delhi masih membekas di benak Mohammad Zubair (37 tahun). Dia sedang dalam perjalanan pulang dari masjid ketika kerusuhan terjadi.
Zubair kemudian berbalik mencari jalan lain untuk menghindari bentrokan, namun dia justru dipukuli. Dalam hitungan detik, dia sudah meringkuk di tanah dan dikelilingi oleh belasan pemuda yang memukulinya dengan tongkat kayu dan batang logam.
Darah mengucur dari kepala Zubair dan menodai baju putih yang dia kenakan. Pukulan itu semakin intensif dan dia berpikir bahwa dirinya akan mati.
"Mereka melihat saya sendirian, mereka melihat topi saya, jenggot, shalwar kameez (pakaian), dan melihat saya sebagai seorang Muslim. Mereka mulai menyerang, meneriakkan slogan-slogan. Kemanusiaan macam apa ini?" ujar Zubair kepada Reuters.
Zubair yang tidak sadarkan diri kemudian dibawa ke tempat yang aman oleh sesama Muslim yang datang membantunya. Mereka melemparkan batu ke arah kerumunan orang yang menyerang Zubair.
Zubair dilarikan ke rumah sakit karena luka di kepalanya. Dia dibolehkan pulang dari rumah sakit pada Senin malam. Sehari-hari, Zubair bekerja mencari nafkah dengan melakukan pekerjaan serabutan.
"Saya sempat berpikir bahwa saya tidak akan selamat. Saya hanya mengingat Allah," ujar Zubair.
Kekerasan antarumat agama di New Delhi terjadi sejak Ahad dan menewaskan 25 orang. Bentrokan ini awalnya dipicu oleh aksi protes yang menentang undang-undang kewarganegaraan (CAA). Sekelompok Hindu ekstrem kanan dan kelompok Muslim saling bentrok di Delhi sehingga menimbulkan ketegangan.
Sejumlah kerusuhan di India dimulai pada Desember lalu sejak CAA disahkan. Undang-undang tersebut memberikan kewarganegaraan bagi pengungsi Hindu, Sikh, dan Kristen yang dianiaya di Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan.
Undang-undang tersebut dinilai telah mendiskriminasi umat Muslim. Namun partai nasionalis Hindu yang berkuasa, Bharatiya Janata Party (BJP), menyangkal adanya diskriminasi terhadap Muslim India.
Juru bicara BJP Tajinder Pal Singh Bagga mengatakan partainya tidak mendukung segala bentuk kekerasan, termasuk serangan terhadap Zubair. Dia menyalahkan pihak-pihak yang berselisih karena memicu kekacauan selama kunjungan Presiden AS Donald Trump untuk merusak citra India. "Ini 100 persen telah direncanankan," ujar Bagga.
Bagga menambahkan bahwa partainya tidak memiliki keterkaitan dengan insiden bentrokan yang terjadi di Delhi. Bagga mengatakan, pemerintah federal telah mengerahkan pasukan paramiliter untuk mengendalikan situasi di Delhi. "Saya percaya dalam 24 jam semuanya akan baik-baik saja," kata Bagga.
Sejak Modi terpilih kembali menjadi perdana menteri, dia telah membuat serangkaian kebijakan yang menguntungkan bagi umat Hindu. Salah satunya yakni mencabut status istimewa Kashmir yang dihuni oleh mayoritas Muslim. Hal membuat Muslim India terguncang.
Kini, para penentang dan pendukung hukum sebagian besar terpecah antara Muslim dan Hindu. Beberapa mengatakan polarisasi telah membangkitkan bab gelap pada masa lalu India.
"Kekerasan sekarang terjadi di Delhi mengingatkan Anda tentang awal kerusuhan anti-Sikh 1984," ujar seorang ilmuwan politik, Yogendra Yadav.
Yadav merujuk pada serangan terhadap komunitas minoritas Sikh, setelah salah satu anggota komunitas itu membunuh Perdana Menteri Indira Gandhi. Ribuan orang Sikh terbunuh di kota-kota termasuk Delhi. Penyelidik mengatakan kekerasan itu diorganisir oleh kelompok tertentu.
Dalam sebuah pernyataan, polisi Delhi mengatakan mereka melakukan segala upaya untuk menahan bentrokan dan mendesak orang-orang untuk menjaga perdamaian. Saksi mata menuturkan polisi dan pasukan paramiliter berpatroli di jalan-jalan pada Rabu. Beberapa dari mereka yang terbunuh dan terluka dibawa ke Rumah Sakit Guru Teg Bahadur.
Salah satu korban luka-luka adalah serong Hindu bernama Yatinder Vikal (33 tahun). Dia dibawa ke rumah sakit dengan luka tembak di lutut kanannya. Yatinder sedang mengendarai skuter ketika sebuah peluru menerjangnya.