REPUBLIKA.CO.ID, Mohammad Zubair (37 tahun) berbaring di lantai dengan penuh luka dan darah. Pukulan tongkat kayu terus menghujaninya meski ia sudah tidak lagi berdaya.
Setidaknya ada 30 orang yang memulukinya tanpa henti. "Pukulan itu terus menghujam ke kepala saya, tangan, hingga punggung," ujar Zubair menceritakan kisahnya seperti dilansir the Guardian, Ahad."Saya terdiam, dan mencoba bernafas dan melindungi tubuh ini."
Zubair berurai air mata ketika menceritakan kisahnya. Baginya hal itu merupakan mimpi buruk yang tak pernah bisa terlupakan.
Dalam kondisi lemah, Zubari sempat bertanya kepada para penyerangnya, "Mengapa Anda menyerang saya? Kesalahan apa yang telah saya lakukan?" tanyanya.
Tetapi, mereka tak mau mendengarkan dan terus memukulinya. Mereka berteriak 'Maro shaalo mulleko' (bunuh sialan Muslim ini". Mereka juga berteriak, 'Jai Sri Ram' (slogan nasionalis Hindu)
Menurut Zubair, banyak orang berdiri hanya menyaksikan. Namun sayang, mereka tidak berbuat apa-apa.
Warga muslim meninggalkan lingkungan rumahnya yang mayoritas warga Hindu pascabentrok massa pendukung dan penentang UU Kewarganegaraan India berujung rusuh di New Delhi, India.
Foto aksi pemukulan terhadap Zubair di siang hari di jalanan kota India menjadi pembicaraan publik. Perlakuan terhadap Zubair hanya satu dari sekian banyak kisah diskriminatif terhadap Muslim di India..
Seperti diketahui kekerasan yang menargetkan Muslim di India telah menyebabkan sedikitnya 40 orang meninggal. Ratusan lainnya juga terluka menyusul aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal nasionalis Hindu.
Aksi kekejaman yang terjadi di kota besar di Timur Laut India itu telah menjadi sorotan dunia. Bagaimana Muslim diseret dari rumahnya ke tengah jalan digantung hingga dipukuli sampai mati. Pertokoan dan properti-properti milik Muslim dibakar. Polisi pun dinilai tidak mampu berbuat apa-apa dalam mencegah aksi brutal massa Hindu radikal.
Massa juga mencegah pria-pria di tengah jalan dan meminta mereka menunjukkan kartu identitasnya. Jika seseorang menolak, akan dipaksa. Salah satu yang merasakan ulah massa itu adalah Imran Khan (30 tahun) yang tinggal di Shiv Vihar di barat daya New Delhi. Dia berjalan menuju rumah saat sekelompok orang mencegahnya.
"Seseorang memaksa saya turun dan menarik kemeja saya," tuturnya. "Mereka kemudian mulai memukuli saya setelah sadar bahwa saya adalah Muslim."
Massa itu tak ragu menghujaninya dengan linggis, batang besi atau pipa logam. Khan pun akhirnya jatuh pingsan. Para penyerang yang mengira ia sudah mati lantas mengikat dan menyeretnya hingga ke dalam selokan.
Salah satu wilayah terburuk aksi kekerasan masalah adalah di Chand Bagh. Toko-toko Muslim, seperti es krim, cukur rambut, hingga tukang daging habis terbakar.
Seorang warga meninggalkan lingkungan rumahnya yang hangus saat bentrok massa pendukung dan penentang UU Kewarganegaraan India berujung rusuh di New Delhi, India.
Salah satu korban meninggal adalah Musharraf (30 tahun). Saat itu, ia sedang berada di rumah bersama istri dan anaknya di Bagirathhi Vihar, New Delhi. Setidaknya 30 orang yang mengendarai motor bersenjata pisau, rantai dan besi batangan menghampiri rumahnya. Para pelaku memakai helm agar tidak bisa teridentifikasi.
Para penyerang menggedor pintu sambil meneriakkan, "Jai Sri Ram". "Mereka memutuskan aliran listrik sehingga semuanya menjadi gelap dan mulai menghancurkan rumah," ujar saudara Musharraf, Shakir. Sang istri mencoba untuk menghubungi polisi, namun tak merespons.
Keluarga itu mencoba untuk bersembunyi. Tapi, seseorang pria mulai menyiramkan bensin ke rumahnya dan berteriak, "Apakah kalian mau keluar, atau terbakar hidup hidup?"
Para penyerang lantas menghancurkan tempat tidur di mana Musharraf bersembunyi. Musharraf sempat berteriak. Namun pelaku menyeretnya ke jalan. Anak-Anak Musharrraf lari dan berteriak.
Putri Musharraf, Kushi (11 tahun) jatuh di kaki seorang pelaku dan memohon agar tak membunuh ayahnya. "Jangan bunuh ayah saya," pintanya. Ia mencoba menyelamatkan nyawa sang ayah, namun sayang upayanya gagal. Musharraf terbunuh dipukuli di tengah jalan dan para pelaku melempar jasadnya ke selokan.
Setelah kerusuhan yang terjadi, Shakir dan keluarganya mengatakan tak bisa lagi tinggal di kota yang telah menjadi kampung halamannya selama beberapa dekade. "Kami tidak merasa terancam dan selalu hidup berdampingan dengan tetangga Hindu kami," ujarnya. "Namun sekarang kami tak bisa lagi aman tinggal di kota ini."
Di India, jumlah populasi Muslim sekitar 14 persen. Adapun Hindu merupakan agama mayoritas atau sekitar 80 persen dari jumlah penduduk.
Kekerasan bernuansa SARA yang terjadi di India sudah berlangsung sejak perpecahan India, ketika Pakistan yang mayoritas Muslim memisahkan diri dan membentuk negara sendiri pada 1947. Pada 1992 ketegangan sempat memanas ketika kelompok garis keras Hindu, termasuk sejumlah anggota Bharatia Janata Party (BJP) membakar Masjid Babri di Ayodya.
Ketika BJP memenangkan pemilihan pada 2014 dan dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi, perpecahan dan pertikaian kian melebar. BJP merupakan sayap politik dari kelompok Hindu garis keras, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS).
Baru-baru ini pemerintah BJP mengeluarkan aturan yang dinilai anti-Muslim.
Beleid yang diprotes itu berisi pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi beragama Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsis, dan Kristen dari tiga negara tetangga, yakni Bangladesh, Afghanistan, dan Pakistan, yang tiba di India sebelum 31 Desember 2014. Imigran Muslim dikecualikan dari regulasi itu dengan alasan mereka tak termasuk yang mendapatkan diskriminasi di tiga negara tersebut.
Kendati demikian, sejumlah kritikus menyoroti bahwa regulasi itu mengabaikan keberadaan Muslim yang mengungsi ke India untuk menghindari kekerasan di Myanmar dan Srilanka. Regulasi itu juga dinilai menyalahi konstitusi India yang menjamin hak warga negara terlepas dari agama yang mereka anut.
Aturan ini lantas menulai penolakan, dan berbuntut pada aksi kekerasan terhadap minoritas Muslim India.