TRIPOLI - Utusan Khusus PBB untuk Libya Ghassan Salame mengundurkan diri dari jabatannya pada awal pekan ini. Keputusan tersebut diambil saat Libya masih dibekap perpecahan politik.
Dalam pengumumannya, Salame mengatakan stres menjadi alasan utamanya mundur sebagai utusan PBB untuk Libya. "Selama dua tahun saya mencoba menyatukan kembali rakyat Libya dan menahan campur tangan asing. Tapi karena alasan kesehatan, saya tidak dapat lagi melanjutkan tingkat stres ini," ungkap Salame melalui akun Twitter pribadinya dikutip laman Aljazirah.
Mantan menteri kebudayaan Libya itu telah meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres membebaskannya dari tugas dan mandat. Juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, mengatakan Guterres telah menerima pengunduran diri Salame.
"Sekretaris Jenderal (PBB) selalu memiliki kepercayaan penuh pada pekerjaan Salame dan upaya besar yang telah dilakukannya untuk membawa perdamaian ke Libya. (Guterres) akan berdiskusi dengan Salame tentang cara untuk memastikan transisi yang lancar agar tidak kehilangan momentum pada pencapaian yang telah dibuat," kata Dujarric.
Salame telah berulang kali menyesalkan kurangnya kerja sama komunitas internasional, terutama negara-negara yang memberikan dukungan pada pihak yang bertikai di Libya, untuk membantu penyelesaian konflik di sana. "Apakah saya memperoleh jenis dukungan yang dibutuhkan? Jawaban saya adalah tidak. Saya perlu lebih banyak dukungan," kata dia pada Jumat pekan lalu.
Pada Januari lalu, KTT internasional diselenggarakan di Berlin, Jerman. KTT digelar untuk membahas penyelesaian konflik di Libya. Konferensi tersebut ditengahi Rusia dan Turki.
Selain Guterres dan Kanselir Jerman Angela Merkel, konferensi dihadiri sejumlah tokoh lainnya seperti Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte. Hadir pula Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo.
Komunikasi terakhir menyatakan negara-negara yang berpartisipasi dalam konferensi berjanji mengakhiri aliran senjata dan pengerahan personel militer ke Libya. Namun komitmen itu segera dilanggar setelah ditandatangani. Hal itu terjadi setelah adanya laporan bahwa Uni Ermirat Arab (UEA), pendukung utama Jenderal Khalifa Haftar, memasok peralatan militer ke pasukan Haftar di Libya timur.