REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung India untuk dijadikan pihak ketiga dalam persidangan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan atau Citizenship Amandement Act (CAA). Undang-undang tersebut telah menuai penolakan karena dianggap anti-Muslim.
"Komisaris Tinggi (PBB untuk HAM) berupaya campur tangan sebagai amicus curie (pihak ketiga) dalam kasus ini, berdasarkan mandatnya untuk antara lain melindungi dan mempromosikan semua HAM dan melakukan advokasi yang diperlukan," demikian bunyi surat permohonan yang diajukan kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet, dikutip laman CBS, Selasa (3/3).
Dalam surat itu disebutkan bahwa India memainkan peran penting dalam membuat hak untuk perlindungan hukum yang setara pada 1949. "Sungguh luar biasa bahwa 60 tahun kemudian, masalah ini menjadi inti dari pertimbangan Mahkamah Agung India saat menguji CAA. Ini menghadirkan kepada Mahkamah Agung suatu peluang bersejarah dan unik untuk memberikan makna praktis pada hak fundamental ini di tingkat domestik," katanya.
Menanggapi langkah tersebut, Pemerintah India menyatakan CAA adalah masalah internal negaranya. "CAA adalah masalah internal India. Kami sangat yakin tidak ada pihak asing yang memiliki locus standi (kedudukan hukum) mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kedaulatan India," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri India Ravesh Kumar, dikutip Anadolu Agency.
Dia menegaskan bahwa CAA sah dan memenuhi syarat-syarat konstitusional India. "Ini mencerminkan nilai-nilai konstitusional kami yang sudah lama berkenaan dengan masalah HAM yang timbul dari tragedi Pemisahan India," ujar Kumar.
Pekan lalu, massa pendukung dan penentang CAA terlibat bentrok di New Delhi. Peristiwa itu seketika berubah menjadi kerusuhan komunal yang melibatkan warga Muslim dan Hindu. Sebanyak 47 orang tewas dan 250 lainnya luka-luka dalam bentrokan tersebut.
Dalam kericuhan itu, massa pendukung CAA turut menyerang kediaman milik warga Muslim dan membakar setidaknya dua masjid. Aksi tersebut dikutuk Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
OKI mengutuk kekerasan baru-baru ini dan mengkhawatirkan Muslim di India, mengakibatkan kematian dan cedera orang-orang tak berdosa, pembakaran serta perusakan masjid dan properti milik Muslim," ujar OKI melalui akun Twitter resminya pada Kamis (27/2).
OKI mengungkapkan belasungkawa kepada para korban sebagai hasil dari tindakan keji tersebut. "OKI menyerukan pihak berwenang India membawa penghasut dan pelaku dari tindakan anti-Muslim ini ke pengadilan serta memastikan keselamatan dan keamanan semua warga Muslim dan perlindungan tempat-tempat suci Islam di seluruh negeri," ujarnya.
Sejauh ini India telah menangkap 514 tersangka yang terlibat dalam kerusuhan di New Delhi. India meratifikasi CAA pada Desember 2019. UU tersebut menjadi dasar bagi otoritas India untuk memberikan status kewarganegaraan kepada para pengungsi Hindu, Kristen, Sikh, Buddha, Jain, dan Parsis dari negara mayoritas Muslim, yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.
Status kewarganegaraan diberikan jika mereka telah tinggal di India sebelum 2015. Namun dalam UU tersebut, tak disebut atau diatur tentang pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi Muslim dari negara-negara terkait. Atas dasar itu, CAA dipandang sebagai UU anti-Muslim.