Jumat 06 Mar 2020 11:44 WIB

Erdogan dan Putin Umumkan Gencatan Senjata di Idlib, Suriah

Turki dan Rusia sepakat membantu pengungsi Suriah kembali ke rumah.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Warga  memperhatikan gedung yang hancur akibat serangan udara pasukan pemerintah Suriah di Kota Ariha, Provinsi Idlib Suriah, Rabu (15/1).
Foto: Ghaith Alsyayad/AP
Warga memperhatikan gedung yang hancur akibat serangan udara pasukan pemerintah Suriah di Kota Ariha, Provinsi Idlib Suriah, Rabu (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan gencatan senjata militer di Idlib, Kamis (5/3) waktu setempat. Keputusan yang ditunggu-tunggu mata dunia itu terjadi setelah pertemuan kedua negara di Moskow. Pertemuan dua kubu konflik di Suriah itu berlangsung selama enam jam.

Idlib, sebagai wilayah pemberontak terakhir di Suriah, telah didera kekerasan tinggi dan pertumpahan darah sejak Desember tahun lalu. Kejadian itu menjadi awal dari serangan pasukan Suriah yang didukung Rusia untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah tersebut.

Baca Juga

Erdogan menegaskan, Turki tidak akan diam jika pasukan Pemerintah Suriah melanjutkan serangan. Erdogan juga memperingatkan bahwa Ankara akan membalas dengan kekuatan penuh. Turki telah mengirim ribuan tentaranya ke Idlib untuk mengusir tentara Suriah.

Sementara itu, Putin mengatakan, meski Rusia tidak selalu setuju dengan mitra Turki, ia berharap kesepakatan itu akan berfungsi sebagai dasar baik untuk mengakhiri pertempuran di zona deeskalasi Idlib. Hal tersebut juga mengakhiri penderitaan penduduk sipil serta menahan krisis kemanusiaan yang terus berkembang di wilayah itu.

Dalam kesepakatan gencatan senjata, Erdogan dan Putin sepakat untuk membantu para pengungsi kembali ke rumah masing-masing. Kedua negara juga sepakat untuk membangun koridor keamanan di sepanjang jalan raya timur-barat di Idlib dan mengadakan patroli bersama di sana pada 15 Maret.

Dalam pernyataan bersama yang dibacakan oleh menteri luar negeri Turki dan Rusia, kedua belah pihak mengatakan, koridor itu akan membentang enam kikometer ke utara dan enam kilometer ke selatan jalan raya M4. Keduanya mengatakan, menteri pertahanan masing-masing negara akan menyetujui parameter koridor dalam waktu sepakan. Hingga krisis terkahir, Putin dan Erdogan berhasil mengoordinasikan kepentingan di Suriah meskipun Moskow mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad, sementara Ankara mendukung pasukan oposisi.

Assad menuduh Turki mendukung teroris. "Erdogan tidak dapat memberi tahu orang-orang Turki mengapa dia mengirim pasukannya untuk berperang di Suriah dan mengapa tentaranya dibunuh di sana karena masalah itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan Turki, tetapi dengan ideologi Ikhwanul Muslimin," kata Assad kemarin, dikutip Aljazirah, Jumat (6/3).

"Masalah utamanya di Idlib adalah hasrat Assad untuk mendirikan wilayah yang sepenuhnya dikendalikan dan memblokir perbatasan dengan Turki, sementara mendorong 3 juta populasi Sunni, yang tak bersahabat dengan Assad, ke wilayah Turki," kata analis hubungan luar negeri Rusia, Vladimir Frolov, Kamis (5/3).  

Namun demikian, ketika gencetan senjata mulai berlaku, Anadolu Agency melaporkan pasukan Turki membunuh 21 tentara Suriah dan menghancurkan dua artileri serta peluncur rudal, Jumat (6/3). Hal itu, katanya, sebagai pembalasan atas pembunuhan dua tentara Turki di Idlib pada Kamis.

Dalam beberapa bulan terakhir sudah berulang kali pasukan Turki dan Suriah bentrok di udara maupun darat. Kedua negara kehilangan banyak pasukan. Dalam beberapa pekan terakhir, Turki mengirimkan ribuan pasukan ke Suriah.

Keputusan itu justru menimbulkan bencana bagi mereka sendiri. Selama beberapa bulan ini sudah 58 pasukan Turki yang tewas di Suriah, termasuk 33 lainnya yang gugur dalam sebuah serangan udara pekan lalu

Konflik Suriah membuat lebih dari 300 warga sipil, termasuk 100 anak-anak, terbunuh. Hampir 1 juta orang telantar secara internal ke perbatasan Turki. Sebagian dari mereka terpaksa berkemah di tempat terbuka. PBB pun menilai kejadian ini sebagai krisis kemanusiaan terburuk dalam perang saudara sembilan tahun Suriah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement