REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Setahun setelah serangan penembakan terhadap dua masjid di Christchurch, pemerintah Selandia Baru menghadapi peningkatan gerakan rasisme dan ujaran kebencian. Serangan tersebut telah menginspirasi kelompok nasionalis kanan dan pegiat anti-imigrasi untuk bergerak secara aktif di dunia maya maupun di lingkungan mereka.
"Serangan itu telah membuat orang berani menyebarkan ujaran kebencian," ujar Anjum Rahman dari Dewan Wanita Islam Selandia Baru.
Dewan tersebut telah berulang kali memperingatkaan pemerintah mengenai bangkitnya kelompok ekstrem kanan dan ancaman terhadap wanita Muslim di Selandia Baru dalam satu tahun terakhir. Rahman telah melaporkan ancaman terbaru terhadap Masjid Al Noor ke polisi.
Ancaman tersebut berupa foto seorang pria yang menggunakan penutup wajah dan emoji senjata. Dalam foto tersebut, pria itu berada di dalam sebuah mobil yang terparkir tepat di depan Masjid Al Noor. Foto ini kemudian menyebar luas melalui aplikasi Telegram.
Polisi mengidentifikasi pria yang ada dalam foto itu adalah seorang remaja berusia 19 tahun. Polisi telah melakukan penangkapan dan dia dijadwalkan menjalani persidangan pada akhir bulan ini.
Media lokal mengaitkan pria tersebut dengan kelompok nasionalis kulit putih bernama Action Zealandia. Kelompok itu dibentuk pada Juli 2019 yakni beberapa bulan setelah serangan penembakan di Christchurch. Kelompok ini menyatakan bahwa mereka fokus membangun komunitas untuk orang Selandia Baru Eropa.
Menanggapi penangkapan remaja 19 tahun yang mengunggah foto di Telegram, Action Zealandia menyatakan tindakan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak sesuai dengan kode etik. Ini karena kelompok mereka berkomitmen untuk tidak menggunakan kekerasan.
Direktur Jenderal Kemanan Intelijen Selandia Baru, Rebecca Kitteridge, mengatakan sejak serangan penembakan di Christchurch, pihak intelijen menemukan tantangan keamanan yang baru yakni rasisme dan ujaran kebencian. Dia menyebut serangan itu telah memberikan inspirasi bagi orang lain.
"Itu (serangan) telah memberikan dorongan kepada beberapa orang dan menginspirasi orang lain. Kami mendapatkan informasi bahwa banyak orang yang mengemukakan pandangan ekstremis sebelum 15 Maret (serangan penembakan di Christchurch) dan ada dampak setelah serangan itu," ujar Kitteridge.
Kitteridge mengatakan antara 15 Maret dan akhir Juni 2019 agen intelijen menerima informasi tentang orang-orang yang mengemukakan pandangan rasisme, Nazi, atau supremasi kulit putih. Sebuah survei oleh agen keamanan daring Netsafe pada Desember menunjukkan ujaran kebencian yang diungkapkan secara daring meningkat di Selandia Baru dalam 12 bulan terakhir. Sekitar 15 persen dari populasi dewasa menjadi target dari ujaran kebencian.
Selain itu, sejumlah poster supremasi kulit putih juga muncul di Auckland dalam beberapa pekan terakhir menjelang peringatan satu tahun penembakan masjid di Christchurch. Peneliti ekstremis sayap kanan dari Massey University Paul Spoonley mengatakan ada sekitar 60 hingga 70 kelompok serta 150 hingga 300 aktivis sayap kanan yang aktif di Selandia Baru.
"Selandia Baru sekarang menjadi bagian dari ekosistem sayap kanan internasional dengan cara yang tidak dapat Anda katakan 20 tahun lalu," ujar Spoonley.