REPUBLIKA.CO.ID, LISSE -- Belanda dan dunia harus berhadapan dengan dampak virus corona terhadap industri bunga. Koperasi petani Belanda merilis 85 persen omzet dari penjualan bunga telah hilang.
"Virus corona adalah bencana bagi industri bunga Belanda, 85 persen dari omzet di pasar kami hilang," kata Perwakilan Royal FloraHolland, Michel van Schie.
Koperasi petani yang memperdagangkan sekitar 12 miliar tanaman dan bunga setiap tahun ini menunjukkan, pandemi corona telah memukul dengan keras industri bunga Belanda. Ekspor tahun lalu bernilai lebih dari 6 miliar euro dengan memiliki 44 persen pangsa perdagangan dunia dalam produk florikultura dan menyumbang 77 persen dari bibit bunga yang dijual di seluruh dunia.
Beberapa petani Belanda telah memberikan tulip kepada pekerja kesehatan sebagai bentuk penghargaan atas pekerjaan mereka. Kondisi itu pun terjadi ketika bunga-bunga yang seharusnya menghiasi lapangan Santo Petrus di Vatikan selama Paskah batal dikirim.
Di fasilitas lelang Royal Flora Holland di Aalsmeer dekat Amsterdam yang biasanya berisi barisan rak bunga, malah terlihat kosong. Pekerja mengendarai troli listrik menggeser kotak-kotak bunga, tetapi itu hanya sebagian kecil dari jumlah biasa yang diperdagangkan.
Koperasi yang memiliki omzet tahun lalu sebesar 4,7 miliar euro itu meminta pemasok untuk mengirim hanya sekitar 25 persen dari jumlah bunga yang biasa dilelang. Keputusan itu untuk mencegah bunga yang tidak terjual masuk ke mesin penghancur kertas.
Petani bunga Frans van der Slot mencoba menyimpan tulip hasil kebunnya di mesin pendingin selama mungkin dalam upaya untuk keluar dari keterpurukan. Dia berharap penjualan akan pulih sekitar Paskah pada 12 April, tetapi jika tidak ada pembelian, dia harus membuang sebagian besar panennya.
Bukan hanya petani di Belanda yang merasakan hantaman. Kerugian menyebar ke petani di tempat lain Eropa dan negara-negara Afrika, seperti Kenya dan Ethiopia yang telah mengembangkan industri bunga yang signifikan.
Kenya yang memiliki pertanian dan penelitian Bunga Maridadi terlihat sepi dengan 120 karyawan berdiam diri di rumah. Beberapa staf masih bertahan memotong mawar dan memuatnya ke gerobak yang didorong ke tempat pembuangan di mana 230.000 hingga 250.000 bunga setiap harinya menumpuk.
Pemilik pertanian, Jack Kneppers, mengatakan sekitar 80 persen dari 720 stafnya sekarang ada di rumah. Dia mempertahankan beberapa staf untuk memelihara tanaman di pertanian dekat pantai Danau Naivasha, 90 kilometer utara ibukota, Nairobi.
"Ini menghabiskan biaya sekitar setengah juta dolar sebulan untuk mempertahankan perusahaan. Jika ini berlanjut lebih lama kita harus mulai merumahkan orang karena kita tidak mampu membayar ini," ujar orang Belanda yang sudah tinggal lama di Kenya.
Petani Kenya menjual sekitar 70 persen dari produk bunga ke Eropa. Kondisi kegagalan penjualan terhadap bunga-bunga ini akibat dari penyebaran virus corona yang sangat cepat dan besar di sana.
"Seperti yang kita bicarakan sekarang, angka berubah setiap hari, tetapi kemarin kita beroperasi pada 30 persen, itu berarti 70 persen lebih rendah dari yang pernah kita lakukan," kata CEO Dewan Bunga Kenya Clement Tulezi.
Salah satu pekerja Kneppers, Carol Gikundi, seorang ibu tunggal dengan tiga anak yang juga merawat ibunya, merasa khawatir dengan kondisi terpuruknya industri bunga. "Kami takut pekerjaan kami. Kami juga takut kepada status karyawan karena semua tanggungan saat ini berada di kami dan kami tidak yakin dengan pekerjaan karena wabah ini," ujarnya.