REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok-kelompok perlawanan Palestina membatalkan aksi demonstrasi akibat pandemi virus corona atau Covid-19. Rencananya demonstrasi tersebut akan digelar pada pekan depan tepatnya pada 30 Maret di sepanjang perbatasan dengan Israel untuk memperingati tahun kedua Great March of Return.
"Kami menyerukan kepada orang-orang kami untuk tidak pergi dan tetap di rumah untuk menjaga keselamatan rakyat kami dalam menghadapi pandemi yang mematikan ini," kata anggota senior kelompok bersenjata the Palestinian Islamic Jihad (PIJ), Khaled al-Batsh dilansir Aljazeera, Ahad (29/3).
Al-Batsh juga meminta warga Palestina di Gaza untuk memperingatinya dengan mengibarkan bendera Palestina di atap rumah mereka dan membakar bendera Israel. Selain itu, lalu lintas juga akan dihentikan selama satu jam dan sirene akan berbunyi di seluruh wilayah untuk menandai peringatan tersebut.
Menurut pejabat medis Gaza, 215 warga Palestina telah terbunuh oleh tentara Israel yang menembak dari sisi lain perbatasan selama aksi protes berlangsung. Sementara delapan ribu lainnya menderita luka tembak. Dampaknya, dalam beberapa bulan terakhir aksi protes pekanan warga Palestina di Gaza jadi mereda.
Namun, seorang tentara Israel terbunuh oleh penembak jitu Palestina selama demonstrasi. Pada 2019, penyelidik Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pasukan Israel mungkin telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, di mana anak-anak dan paramedis menjadi di antaranya.
Sampai sejauh ini, sembilan dari 97 kasus virus corona di wilayah Palestina telah dikonfirmasi di Jalur Gaza. Sejumlah rumah sakit Gaza yang kewalahan menerima pasien dengan luka tembak selama aksi protes kini harus bersiap menghadapi tantangan untuk menampung pasien virus corona.
Koordinator Kemanusiaan PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki, Jamie McGoldrick, menyatakan ada konsekuensi yang mengerikan setelah muncul kasus positif Covid-19 di Jalur Gaza yang diblokade Israel. Sebab, kata McGoldrick, ada blokade jangka panjang di sana, wilayahnya padat penduduk, dan terbatasnya fasilitas kesehatan.
McGoldrick bahkan mengatakan akan banyak orang yang terjebak di wilayah tersebut jika dilanda wabah epidemi, sehingga keadaan ini akan mengakibatkan penyebaran virus. Dia juga mengungkapkan sistem kesehatan di Gaza lemah dan tidak memadai karena minimnya sumber pendanaan dan peralatan medis.