Senin 30 Mar 2020 17:13 WIB

Jepang Bantah akan Umumkan Status Darurat Negara

Jepang belum memiliki langkah terbaru untuk pengendalian infeksi virus corona.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
 Jepang belum memiliki langkah baru terkait corona, ilustrasi
Foto: AP
Jepang belum memiliki langkah baru terkait corona, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Juru bicara Pemerintah Jepang, yang merupakan kepala sekretaris kabinet, Yoshihide Suga mengatakan rumor yang mengatakan bahwa negara itu akan menyatakan keadaan darurat pada 1 April mendatang, tidak benar. Hingga saat ini, belum ada langkah-langkah terbaru yang diputuskan di Negeri Matahari Terbit terkait pengendalian infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). 

Suga lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada keterkaitan rencana percakapan telepon antara Perdana Menteri Jepang Shinzo Abeng dan kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dengan keputusan membuat negara itu berada dalam keadaan darurat. Hingga Senin (30/3), berdasarkan data Worldmeters,  jumlah kasus Covid-19 di Jepang adalah 1.866 dan terdapat 54 kematian terjadi. 

Baca Juga

Hingga saat ini belum ada lockdown yang diberlakukan oleh Jepang untuk mengendalikan wabah Covid-19. Pemerintah negara itu hanya memberlakukan status siaga satu, khususnya di Ibu Kota Tokyo dan meliburkan semua sekolah hingga awal April, serta menghentikan acara-acara publik sebagai antisipasi penularan virus. 

Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Sejak saat itu, virus terus menyebar secara global ke berbagai negara lainnya di dunia. 

Jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia pada Senin (30/3) juga tercatat mencapai 722.196 dengan 33.976 kematian, sementara 151.766 pasien dinyatakan sembuh. Setidaknya 199 negara telah mengkonfirmasi kasus positif infeksi virus corona jenis baru ini.

Covid-19 yang berasal dari keluarga virus corona yang sama dengan beberapa wabah lainnya, yaitu SARS (sindrom pernapasan akut parah) dan MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) menjadi lebih mematikan dengan tingkat penyebaran yang cepat. Saat wabah SARS terjadi pada 2002-2003, sebanyak 774 orang meninggal, sementara MERS yang mewabah sejak 2012 tercatat menewaskan sedikitnya 828 orang. 

Bagi kebanyakan orang, infeksi virus corona jenis baru menyebabkan gejala ringan atau sedang, seperti demam dan batuk yang hilang dalam dua hingga tiga minggu. Namun, sebagian orang, terutama orang dewasa yang lebih tua (berusia lanjut) dan orang-orang dengan masalah kesehatan yang telah ada, Covid-19 dapat menimbulkan gejala yang lebih parah, termasuk pneumonia, dan bahkan kematian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement