REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meluncurkan Kampanye Solidaritas Nasional untuk membantu memerangi virus corona baru atau Covid-19 di seluruh negeri. Salah satunya, ia menyumbangkan tujuh bulan dari gajinya untuk inisiatif tersebut.
"Saya meluncurkan kampanye secara pribadi dengan menyumbangkan gaji tujuh bulan saya," kata Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya kepada negara dikutip Anadolu Agency, Selasa (31/3).
Anggota kabinet dalam pemerintahan dan anggota parlemen juga telah menyumbangkan 5,2 juta lira Turki (791 ribu dolar AS) untuk kampanye ini. Erdogan menggarisbawahi bahwa tujuan dari kampanye itu adalah untuk memberikan dukungan tambahan kepada orang-orang berpenghasilan rendah yang menderita secara ekonomi karena langkah-langkah yang diambil terhadap penyebaran penyakit.
Hingga kini, Turki tengah mengerjakan vaksin virus corona. Erdogan menekankan bahwa Turki mendapatkan fasilitas medis yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain yang memerangi virus. "Turki dengan cepat membuka rumah sakit baru sementara juga memperkuat yang sudah ada," kata Erdogan.
Menurutnya, berbagai upaya sedang dilakukan oleh para ahli Turki untuk memproduksi alat pernapasan dan vaksin untuk virus. "Tujuan kami adalah mencapai hasil serius pada akhir tahun ini," ujarnya.
Pemerintah Turki berkomitmen menggunakan segala cara untuk mencegah penyebaran virus. Pemerintah pun kini dapat melakukan lebih dari 10.000 tes per hari.
Sekitar 41 lingkungan dan desa berada di bawah karantina di negara itu. Oleh karena itu, Erdogan selalu menyerukan agar masyarakat melakukan karantina mandiri di rumah mereka.
Erdogan optimistis bahwa Turki tidak menghadapi masalah mengenai pasokan makanannya. "Turki memiliki surplus dalam produksi pertanian," kata dia.
Turki hingga kini mencatat 10.827 kasus infeksi positif Covid-19. Sebanyak 162 pasien telah pulih dan dipulangkan dari rumah sakit sejak awal wabah, sementara sebanyak 725 pasien dirawat di bawah perawatan intensif.
Virus corona tipe baru pertama kali terdeteksi di Wuhan, China pada Desember 2019. Menurut Johns Hopkins University yang berbasis di AS, saat ini ada lebih dari 770.600 kasus di seluruh dunia dan lebih dari 36.800 kematian. Sementara, lebih dari 160.000 orang sembuh.