Rabu 01 Apr 2020 00:32 WIB

Presiden Brasil Bolsonaro Tolak Perluas Karantina

Bolsonaro beralasan karantina menghancurkan lapangan kerja dan warga miskin menderita

Presiden Brasil Jair Bolsonaro menolak rencana perluasan karantina dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. ilustrasi
Foto: AP Photo/Eraldo Peres
Presiden Brasil Jair Bolsonaro menolak rencana perluasan karantina dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Presiden Brasil Jair Bolsonaro pada Senin (30/3), mengatakan karantina jangan lagi diberlakukan di negara itu daripada yang sudah ada sekarang dalam memerangi virus corona. Ia beralasan bahwa karantina menghancurkan lapangan pekerjaan dan menyebabkan banyak orang di kalangan penduduk miskin menderita.

Ketika berbicara kepada Rede TV, Bolsonaro mengkritik isolasi diri dan langkah-langkah lain yang diberlakukan oleh pemerintah setempat untuk membatasi penyebaran virus. Pandangannya itu lagi-lagi tampak bertentangan dengan langkah yang diupayakan Menteri Kesehatan Luiz Henrique Mendetta.

Baca Juga

Mendetta pada Senin (30/3) meminta masyarakat Brasil untuk menjaga jarak fisik secara maksimum agar tidak sampai membebani sistem kesehatan yang rapuh di negara itu. Ia menyebutkan 200 juta alat pelindung diri akan tiba dari China bulan depan.

"Kita sudah tidak bisa memaksakan karantina melebihi daripada yang sudah ada sekarang," kata Bolsonaro.

Ia menambahkan bahwa pertanyaan yang paling banyak ditanyakan orang-orang kepadanya adalah kapan mereka bisa kembali bekerja.

Senat Brasil pada Senin (30/3) malam meloloskan RUU yang menjamin sebagian warga negara termiskin di negara itu memperoleh dana 600 real (sekitar Rp 1,8 juta) per bulan selama tiga bulan. Paket bantuan itu bisa menelan biaya hampir 50 miliar real (sekitar Rp 157 triliun).

Sebelumnya, Bolsonaro mempertajam perselisihannya dengan pemerintah negara bagian. Ia mencap para gubernur di negara-negara bagian yang paling parah terdampak virus corona sebagai "pembunuh lahan pekerjaan". Ia menganggap demokrasi menghadapi risiko jika krisis virus corona mengarah pada kekacauan sosial.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement