REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANCISCO –- Baru-baru ini email pribadi dari staf Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapat percobaan pembobolan dari para peretas. Akan tetapi belum jelas tujuan peretasan ataupun akun yang dikompromikan tersebut.
Dilansir Reuters pada Kamis (2/4), serangan digital itu menunjukkan bahwa WHO dan organisasi lainnya di pusat global, memang telah dibombardir para peretas untuk mendapat informasi tentang wabah Covid-19. Bahkan pada awal Maret, Reuters juga melaporkan adanya peningkatan upaya dua kali lipat terkait peretasan pada badan kesehatan PBB dan mitranya. Utamanya, ketika awal terjadinya krisis Covid-19 yang kini telah menewaskan lebih dari 40 ribu orang di dunia.
Para peretas disebut-sebut menggunakan teknik peretasan umum yang dikenal sebagai phising. Teknik tersebut menekankan pada pengiriman pesan yang dirancang untuk meniru layanan web Google ke akun email pribadi.
Menurut pemaparan empat orang yang mendapat serangan itu, temuan web merupakan serangkaian situs berbahaya dan forensik lainnya. "Kami telah melihat beberapa penargetan layaknya penyerangan, yang didukung pemerintah Iran yang menargetkan organisasi kesehatan internasional, dan umumnya melalui phishing," kata salah satu sumber dari perusahaan teknologi.
Penyerangan pada staf WHO juga dikonfirmasi Jubir WHO, Tarik Jasarevic. Menurut dia, serangan memang dengan metode phising, tetapi, pihaknya belum mengetahui siapa yang bertanggung jawab.“Sejauh pengetahuan kami, belum ada peretasan yang berhasil,” katanya.
Disebut terlibat dalam peretasan itu, Pemerintah Iran melalui Jubir Kementerian Teknologi Informasi menampiknya. Bahkan, secara gamblang dia menyebut bahwa itu adalah kebohongan untuk memberikan tekanan lebih besar pada Iran. “Iran adalah korban peretasan,” katanya.
Motif para peretas itu memang belum jelas. Namun, target mereka merupakan akun pribadi para pejabat dengan teknik pengumpulan intelijen yang telah berlangsung lama. Dalam kasus tersebut, para peretas mencoba meniru peneliti terkenal, serupa dengan dengan kasus lama. Para peretas Iran diduga menyamarkan dirinya sebagai tokoh media seperti CNN atau The New York Times untuk mengelabui targetnya.