REPUBLIKA.CO.ID, NUUK -- Para peneliti mengonfirmasi adanya pencairan lapisan es di Greenland pada musim panas 2019. Pencairan ini sebagian besar disebabkan oleh tekanan tinggi pada zona tersebut yang terus-menerus terjadi.
Lapisan es ini mencair masuk pada rekor lebih cepat dibandingkan dekade sebelumnya. Angka menunjukkan, pada Juli 2019 saja, permukaan es turun sebesar 197 gigaton (setara dengan sekitar 80 juta air kolam renang Olimpiade).
Saat ini para ahli telah mendalami faktor yang mendorong tingkat peleburan secara lebih rinci. Menurut catatan tim, kondisi tekanan tinggi ini berlangsung selama 63 hari dari 92 hari musim panas pada 2019, dibandingkan dengan rata-rata hanya 28 hari antara tahun 1981 hingga 2010. Situasi yang serupa terlihat pada 2012, rekor tahun yang buruk pencairan lapisan es.
Dilansir di the Guardian, Rabu (15/4) waktu setempat, tim Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengatakan, belum memperhitungkan kondisi yang tidak biasa seperti itu. Jika zona tekanan tinggi yang demikian menjadi fenomena tahunan biasa, pencairan lapisan es di masa depan bisa dua kali lebih tinggi dari perkiraan saat ini. Akibatnya, bisa memiliki konsekuensi serius pada kenaikan permukaan laut.
"Peristiwa ini adalah alarm baik bagi kita untuk mengubah cara hidup agar menahan pemanasan global," kata asisten penulis penelitian dari University of Liege, Dr Xavier Fettweis.
Meski begitu, IPCC optimistis hal serupa tidak terjadi di Kutub Utara. Di dalam jurnal Cryosphere, Fettweis dan rekannya Marco Tedesco dari Lamont-Doherty Earth Observatory di Universitas Columbia, melaporkan model iklim dan pola cuaca global untuk mengeksplorasi pencairan permukaan lapisan es terakhir. Laporan itu berdasarkan data satelit.
Di antara temuan mereka, tim melaporkan hampir 96 persen lapisan es mengalami pencairan pada satu waktu di 2019, dibandingkan dengan rata-rata lebih dari 64 persen antara 1981 dan 2010. Pasangan ini juga menemukan pencairan pada musim panas 2019 itu menghasilkan sekitar 560 gigaton air lelehan. Sementara, jumlah es yang didapat dari hujan dan salju hanya 54 gigaton per tahun (sebelumnya 320 gigaton per tahun).
Ahli glasiologi di Scott Polar Research Institute University of Cambridge, Dr Poul Christoffersen, menyambut baik penelitian ini. Dia mencatat hanya pada 2012 yang memiliki limpasan air lelehan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
"Jelas, ini menunjukkan bahwa peristiwa pencairan ekstrem menjadi jauh lebih sering. Pencairan ekstrem ini dapat dilihat sebagai perubahan iklim," kata dia.