REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Administrasi Makanan dan Obat-obatan (FDA) Amerika Serikat memperingatkan bahaya penggunaan obat malaria hydroxychloroquine pada pasien Covid-19. Peringatan itu disampaikan meski Presiden Donald Trump menggembar-gemborkan obat itu sebagai game changer.
Analis FDA menyatakan bahwa obat tersebut, yang pertama kali disetujui pada 1955, tidak memberikan manfaat dan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi bagi pasien di rumah sakit veteran AS. Laporan analisis tersebut telah diajukan untuk mendapatkan tinjauan pakar pada Selasa (21/4).
"Aku bukan dokter. Sebuah studi harus dilakukan. Jika itu membantu, itu bagus. Jika tidak berhasil, jangan lakukan itu," kata Trump merespons analisis FDA kepada wartawan di Gedung Putih pada Jumat (24/4).
Trump mengatakan, dia baru saja berbicara dengan presiden Honduras, yang telah menggembar-gemborkan obat itu ketika menelepon untuk meminta ventilator. "Jika berhasil, saya pikir semua orang akan mendukungnya, tanyakan padanya, teleponlah dia," ucap Trump dilansir Reuters.
FDA mengatakan, pada Jumat, bahwa mereka menyadari peningkatan penggunaan hydroxychloroquine dan chloroquine melalui resep rawat jalan. Obat-obatan malaria dapat menyebabkan irama jantung yang tidak normal dan detak jantung yang cepat dan berbahaya.
Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru, tidak memiliki pengobatan atau vaksin yang disetujui. Tetapi hydroxychloroquine telah banyak digunakan dalam upaya untuk mengubah perjalanan penyakit Covid-19.
Sejumlah pihak kini juga mulai mengevaluasi penggunaan obat tersebut. National Institutes of Health, pada pekan lalu, telah memulai studi untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas hydroxychloroquine.
Sebuah tim peneliti di Marseilles, Prancis, menerbitkan data yang menunjukkan bahwa dari 80 pasien Covid-19 dengan gejala ringan yang diobati dengan hydroxychloroquine dan azitromisin antiobiotik, 93 persen tidak memiliki tingkat virus yang terdeteksi setelah delapan hari.
Dokter telah mempertanyakan akurasi penelitian Marseille dan beberapa makalah dari China. Sejumlah dokter menyebut riset itu terlalu kecil atau kurang dirancang untuk menawarkan bukti manfaat obat malaria.