Senin 27 Apr 2020 19:45 WIB

WNI Korban Belanda Dapat Ganti Rugi Hampir Rp 170 Juta

Warga Indonesia Korban Belanda Dapat Ganti Rugi Hampir Rp 170 Juta

Red:
 Para veteran pelaku sejarah hadir dalam simulasi pertempuran pada peringatan perobekan bendera Belanda di atas Gedung Denis (Gedung Bank BJB saat ini) di Jalan Braga, Bandung, Sabtu (17/10).   (Republika/Edi Yusuf)
Para veteran pelaku sejarah hadir dalam simulasi pertempuran pada peringatan perobekan bendera Belanda di atas Gedung Denis (Gedung Bank BJB saat ini) di Jalan Braga, Bandung, Sabtu (17/10). (Republika/Edi Yusuf)

Andi Monji berusia 10 tahun ketika dia dipaksa untuk menonton ayahnya dieksekusi oleh tentara Belanda.

Pria yang kini berusia 83 tahun, bulan Maret kemarin pergi ke Den Haag, Belanda, bersaksi di depan pengadilan, kemudian mendapat 10.000 euro (sekitar Rp 168 juta) sebagai ganti rugi atas kematian ayahnya.

"Ayahnya, Tuan Monjong, adalah satu dari lebih dari 200 orang yang dieksekusi mati saat pembantaian desa Suppa, 28 Januari 1947," kata pengacara Andi, Liesbeth Zegveld, kepada ABC.

Meski pernah menolak membayar ganti rugi, Pemerintah Belanda secara resmi sudah meminta maaf atas kekerasan brutal yang terjadi di Indonesia selama tahun 1940-an.

Banyak kekejaman yang dilakukan di sejumlah pulau saat Belanda menguasai Nusantara, hingga Presiden Sukarno memproklamasikan negara kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Apakah pembayaran ganti rugi juga bisa diajukan atas nama korban warga Aborigin di Australia yang menjadi korban kekerasan kolonial kerajaan Inggris?

Pembantaian di desa Suppa

 

Upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia pada tahun 1940-an saat itu disebut sebagai "tindakan pengawasan" terhadap "teroris" dan "ekstremis" nasionalis.

Menurut sejarawan Chris Lorenz, "pemerintah Belanda pada awalnya mencoba untuk mewakili perang kolonial sebagai kelanjutan Perang Dunia Kedua, yaitu, perjuangan demokrasi Belanda melawan Jepang 'fasis'."

Namun pada kenyataannya, kekaisaran Belanda yang mulai melemah saat itu, mengobarkan perang sebagai upaya mendapatkan kembali Indonesia yang kaya sumber daya alam.

Di Sulawesi, tepatnya Sulawesi Selatan, pasukan Belanda menggunakan "metode Westerling" yang brutal.

 

Tindakannya termasuk menyerbu desa-desa, memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak. Orang-orang yang diduga memiliki sikap anti-Belanda langsung dieksekusi.

Penyelidikan Belanda pada tahun 1950-an menemukan lebih dari 3.000 orang telah dibunuh selama tiga bulan. Tapi Indonesia memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi.

Kasus Andi bukan yang pertama kali ditangani oleh pengacara Liesbeth Zegveld.

"Kami telah berhasil mendapat ganti rugi dalam bentuk kerusakan moral bagi seorang perempuan Indonesia yang diperkosa tentara Belanda selama pembantaian desanya pada tahun 1949, serta seorang pria Indonesia yang disiksa saat ditangkap Belanda di 1947, "katanya kepada ABC.

"Dulu, masa kolonial suatu negara, seperti Belanda, dianggap sebagai sumber kebanggaan nasional," kata Liesbeth.

"Saya pikir penting bagi Belanda untuk memperhatikan masa lalu kolonialnya."

Sejarah kekerasan di Indonesia

Pemerintahan Belanda di Indonesia berjalan dengan banyak menumpahkan darah.

Pembantaian Batavia tahun 1740, yang disebut dalam bahasa Belanda sebagai 'Chinezenmoord' (pembunuhan terhadap orang Cina), adalah pembantaian tentara Belanda terhadap 10.000 etnis Cina di tempat yang sekarang disebut Jakarta.

 

Bulan Desember 1947, pasukan Belanda menewaskan sekitar 431 orang di desa Rawagede, karena mereka tidak mengungkapkan keberadaan pemimpin nasionalis yang saat itu sedang diburu.

Baru di tahun 2011 Belanda pertama kalinya mengakui kekejaman era kolonial dengan meminta maaf atas pembantaian Rawagede.

"Atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tragedi yang terjadi di Rawagede pada 9 Desember 1947," kata duta besar Belanda untuk Indonesia saat itu, Tjeerd de Zwaan.

 

Kemudian pada 2013, Tjeerd meminta maaf untuk semua "akibat yang dilakukan pasukan Belanda", antara tahun 1945 dan 1949, khususnya di kawasan Celebes dan Rawagede.

"Terkadang sangat penting untuk dapat melihat ke belakang agar dapat saling menatap lurus dan bergerak maju bersama."

Bulan Maret lalu, Raja Willem-Alexander dari Belanda menyampaikan penyesalan dan meminta maaf "atas kekerasan berlebihan oleh pihak Belanda", merujuk serangkaian kejadian di tahun 1940-an.

"Saya menyadari rasa sakit dan kesedihan dari keluarga yang akan merasakan dampaknya selama beberapa generasi," kata Raja Willem-Alexander saat konferensi pers bersama Presiden Indonesia Joko Widodo.

 

"Perhatikan raja Belanda tidak meminta maaf atas kolonialisme atau kekerasan, hanya mengatakan kekerasan yang 'berlebihan'," kata Dirk Moses, seorang profesor sejarah genosida di University of Sydney.

"Jadi sepertinya dia tidak menyangkal hak Belanda untuk merebut kembali koloni mereka, seperti yang mereka lakukan saat itu."

"Seperti halnya Inggris, Belanda menganggap pemerintahan mereka bersifat mencerahkan dan progresif dibandingkan, katakanlah, dengan Spanyol."

Hak ganti rugi 'diabadikan dalam hukum internasional'

Survei yang diterbitkan lembaga survei 'YouGov' bulan Maret lalu menunjukkan responden asal Belanda dan Inggris melihat kekaisaran mereka di masa lampau sebagai sebuah kebanggaan, bukan rasa malu.

Sekitar 33 persen orang Inggris mengatakan negara-negara yang pernah dijajah menjadi lebih baik karena penjajahan, dibandingkan hanya 17 persen yang mengatakan negara jajahan menjadi lebih buruk.

Menurut penelitian yang dilakukan University of Newcastle, setidaknya, 8.400 warga Aborigin dan Torres Strait Islander dibunuh oleh penjajah antara tahun 1788 dan 1930.

 

Saat ditanya apakah warga Aborigin Australia berhak atas pembayaran ganti rugi dari Inggris, pengacara Liesbeth Zegveld mengatakan "tentu saja".

"Ada korban hidup hari ini yang menderita akibat kekerasan itu," katanya.

Hal senada pun diungkapkan Oscar Juni, Komisaris Keadilan Sosial Aborigin dan Torres Strait Islander Australia.

"Hak warga Aborigin untuk mengobati dan memperbaiki apa yang hilang dan mereka rasakan penderitaannya akibat penjajahan diabadikan dalam hukum internasional," kata Oscar kepada ABC.

"Langkah-langkah yang diambil harus mencakup pengungkapan kebenaran publik, akses keadilan bagi para korban, dan proses untuk restitusi dan kompensasi."

Sebuah deklarasi yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2005 menyebutkan adanya "hak untuk mendapat manfaat dari pemulihan dan ganti rugi" bagi para korban pelanggaran HAM berat.

Masih ada yang mengambil anak-anak Aborigin

Seorang juru bicara Kantor Luar Negeri dan Kantor Persemakmuran Inggris mengatakan kepada ABC, bahwa "Inggris berkomitmen penuh untuk mendorong dan melindungi hak asasi manusia semua orang tanpa diskriminasi dengan alasan apa pun."

"Tidak bisa disangkal, beberapa komunitas, termasuk masyarakat adat, menderita selama masa kolonial," kata juru bicara tersebut.

"Kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi diskriminasi dan intoleransi saat ini dan memastikan generasi sekarang dan masa depan tidak melupakan apa yang terjadi."

Di antara inisiatif yang ditujukan untuk melibatkan warga Aborigin Australia adalah penyediaan tiga beasiswa pascasarjana setiap tahunnya kepada warga Aborigin untuk belajar di Cambridge atau Oxford University, kata mereka.

 

"Masyarakat Aborigin dan Torres Strait Island memiliki hak tidak hanya atas ganti rugi dari kerusakan yang dilakukan di masa lalu, tetapi juga mengambil langkah-langkah efektir untuk menghentikan pelanggaran yang berlanjut, dan menjamin tidak ada pengulangan," kata Oscar.

"Tanpa langkah-langkah tersebut, kita tidak melihat perubahan yang berarti. Misalnya, meskipun perdana menteri Kevin Rudd sudah meminta maaf di tahun 2008, kita melihat peningkatkan jumlah anak-anak Aborigin dan Torres Strait Island yang dikeluarkan dari rumah mereka."

Penelitian nasional di Australia menunjukkan anak-anak Aborigin 10 kali lebih mungkin diambil dari keluarga mereka, dibandingkan anak-anak Australia lainnya.

Dari jumlah tersebut artinya 36 persen anak-anak di Australia tinggal terpisah dari orang tua mereka.

Diperkirakan 17.664 anak-anak Aborigin dan Torres Strait Island tidak dibesarkan di rumah mereka sendiri pada tahun 2017, dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, yang berjumlah 9.070 anak.

"Kami perlu pengakuan bahwa sistem ini rusak, kemudian mengatur ulang hubungan antara pemerintah dan warga kami, serta mengimplementasikan proses dan pengambilan keputusan secara bersama di semua tingkat pemerintahan," kata Oscar.

Simak artikelnya dalam Bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement