Hingga berita ini diturunkan sedikitnya terdapat 2.971.477 kasus positif COVID-19 di seluruh dunia, di mana Amerika Serikat, Spanyol, dan Italia jadi tiga negara dengan kasus positif terbanyak. Dari jumlah tersebut, lebih dari 865 ribu kasus dinyatakan sembuh dan sedikitnya 206 ribu kasus meninggal dunia.
Kini, berkat bantuan teknologi, sejumlah aplikasi smartphone dan teknologi digital lainnya dapat digunakan untuk melacak jejak penyebaran virus corona. Berikut negara-negara di dunia yang tengah mengembangkan aplikasi pelacak virus corona.
Australia
Australia telah meluncurkan aplikasi untuk melacak orang-orang yang pernah melakukan kontak dengan pasien positif COVID-19. Namun aplikasi di smartphone tersebut memunculkan kekhawatiran publik karena dinilai dapat melanggar privasi seseorang.
Dengan menggunakan jaringan Bluetooth, aplikasi bernama COVIDSafe memungkinkan otoritas kesehatan untuk mengakses informasi penting terkait interaksi seseorang jika mereka terjangkit virus corona. Semua nomor ponsel dalam rentang jarak 1,5 meter dari orang yang terinfeksi tersebut selama lima belas menit atau lebih akan tersimpan.
Cina
Aplikasi kesehatan jadi elemen penting bagi warga Cina untuk mencegah munculnya gelombang kedua wabah COVID-19. Semenjak akhir Februari lalu, pemerintah Cina meluncurkan kode QR untuk berbagi informasi mengenai status kesehatan dan riwayat perjalanan warganya. Kode-kode ini tersedia dan dapat dipindai sebelum seseorang menaiki bus dan kereta, atau ketika memasuki bandara, kantor, dan bahkan apartemen mereka sendiri.
Warna yang ditampilkan aplikasi akan menunjukkan tingkat risiko yang berbeda. Warna hijau menandakan orang tersebut harus membatasi pergerakannya, warna kuning menandakan membutuhkan tujuh hari karantina, dan warna merah menandakan membutuhkan 14 hari karantina.
Aplikasi ini juga dapat melacak apakah sang pengguna pernah melakukan kontak dengan orang yang positif COVID-19.
Italia
Ketika Italia mulai mempertimbangkan untuk melonggarkan lockdown secara bertahap, negara tersebut juga tengah mengembangkan sebuah aplikasi yang akan melacak orang-orang yang telah melakukan kontak dengan orang positif COVID-19. Sadar akan adanya kekhawatiran mengenai privasi dan kontrol data penggunanya, Menteri Inovasi Teknologi Italia, Paola Pisano, meyakinkan bahwa hal ini justru membantu membawa Italia ke keadaan seperti sedia kala.
Tender cepat telah dibuka untuk aplikasi tersebut, dan sampai akhir Maret, ratusan proposal telah diterima dan saat ini tengah dipelajari.
Aplikasi ini nantinya akan bekerja atas dasar sukarela penggunanya dan juga memiliki target yang jelas.
Korea Selatan
Korea Selatan adalah salah satu negara pertama yang melakukan pengujian massal COVID-19 dan menggunakan teknologi untuk mengendalikan laju penyebaran virus corona.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC) telah menjalankan COVID-19 Smart Management System (SMS). Ini adalah sebuah sistem yang digunakan untuk melacak penyebaran virus corona melalui aplikasi smartphone dan membantu pihak berwenang untuk menganalisis pergerakan pasien COVID-19 yang dikarantina.
Korea Selatan juga akan mulai mewajibkan orang yang melanggar aturan karantina di rumah menggunakan gelang elektronik untuk melacak keberadaan mereka. Bagi mereka yang menolak menggunakan gelang tersebut akan dipindahkan ke kamp penampungan dan membayar seluruh biaya sendiri.
India
Pemerintah India telah meluncurkan aplikasi smartphone bernama AarogyaSetu untuk membantu melacak orang positif COVID-19 dan orang-orang yang pernah melakukan kontak dengan mereka. Sejauh ini, aplikasi tersebut telah diunduh sebanyak 75 juta kali.
Tersedia dalam 11 bahasa, aplikasi ini tersedia untuk pengguna Android dan iOS. Aplikasi ini menggunakan jaringan Bluetooth untuk melacak apakah ada kasus positif COVID-19 di sekitar penggunanya.
Jerman
Setelah sempat mengembangkan aplikasi buatan sendiri, Jerman akhirnya memutuskan mendukung sebuah sistem aplikasi yang dibantu oleh perusahaan teknologi raksasa Apple dan Google.
Alternatif proyek pembuatan aplikasi yang dipimpin oleh Jerman ini akan dinamakan Pan-European Privacy-Preserving Proximity tracing (PEPP-PT), dengan lembaga penelitian HHI Fraunhofer dan badan kesehatan masyarakat Robert Koch Institute sebagai pemain kunci di dalamnya. Hal ini sempat memicu kekhawatiran akan privasi data pusat.
Namun, saat ini Jerman memutuskan mendukung pendekatan yang dilakukan oleh Apple dan Google, di mana aplikasi tersebut akan didukung dengan perangkat lunat terdesentralisasi. Hal ini akan membuat data hanya akan tersimpan di ponsel penggunanya. rap/gtp