REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON--Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana menghapus Cina dari rantai pasokan industri global, karena dianggap lalai dalam menangangi pandemi virus Corona. Jatuhnya perekonomian dunia akibat virus korona mendorong AS untuk memindahkan produksi dan ketergantungan rantai pasok dari Cina.
"Kami telah bekerja pada (mengurangi ketergantungan rantai pasokan kami di Cina) selama beberapa tahun terakhir tetapi kami sekarang turbo mengisi inisiatif itu," ujar Wakil Menteri untuk Pertumbuhan Ekonomi, Energi dan Lingkungan di Departemen Luar Negeri, Keith Krach.
Departemen Perdagangan AS sedang berupaya untuk mendorong perusahaan agar memindahkan pabrik dari Cina. Pemerintah AS mempertimbangkan insenif pajak dan subsidi untuk memacu perubahan rantai pasok.
Banyak perusahaan AS yang telah berinvestasi di sektor manufaktur Cina. Mereka juga memanfaatkan pangsa pasar Cina yang cukup besar untuk mendorong penjualan. Penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro mengatakan, Trump telah menandatangani perinah yang dapat membatasi impor komponen untuk jaringan listrik dari Rusia dan Cina. Setelah itu, Trump akan segera mengeluarkan perintah terpisah yang meminta agen federal untuk membeli produk medis buatan AS.
Wakil Presiden Senior untuk Kebijakan Internasional di Kamar Dagang dan Industri AS, John Murphy mengatakan, 70 persen kebutuhan farmasi AS telah dipenuhi dari dalam negeri. Sementara itu, membangun fasilitas manufaktur baru di AS bisa memakan waktu antara lima hingga delapan tahun. "Kami khawatir bahwa para pejabat perlu mendapatkan fakta yang benar sebelum mereka mulai mencari alternatif," kata Murphy.
Menurut data PBB, Cina mengambil alih posisi AS sebagai negara produsen utama pada 2010 dan bertanggung jawab atas 28 persen dari output global pada 2018. AS telah mengibarkan perang dagang dengan Cina sejak Trump menjabat sebagai presiden.
Trump telah berulang kali mengatakan bahwa dia dapat menerapkan tarif baru hingga 25 persen terhadap barang-barang Cina senilai 370 miliar dolar AS. Sejumlah perusahaan AS mengeluhkan penurunan penjualan selama pandemi virus Corona berlangsung.