Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (11/5) memuji berkurangnya tingkat infeksi COVID-19 dan angka kematian di beberapa negara. Tetapi WHO juga meminta agar negara-negara menunjukkan "kewaspadaan ekstrem" ketika mulai melonggarkan aturan pembatasan dan kuncian (lockdown).
Beberapa negara Eropa memulai proses pembukaan kembali kegiatan perdagangan, bisnis dan sekolah, serta melonggarkan aturan lockdown. Para pejabat di negara-negara seperti Prancis dan Spanyol mengatakan bahwa tingkat kematian COVID-19 telah menurun.
"Kabar baiknya adalah bahwa ada banyak keberhasilan dalam memperlambat virus dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus lewat briefing virtual.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Program Darurat WHO Michael Ryan memuji pencabutan lockdwon secara bertahap sebagai tanda "harapan". Namun dia mengingatkan bahwa "kewaspadaan ekstrem diperlukan".
Lebih dari 280.000 orang telah meninggal akibat COVID-19 dan lebih dari empat juta orang terinfeksi di seluruh dunia.
Saat banyak negara masih berjuang untuk mencegah penyebaran virus, kini muncul kekhawatiran bahwa kemungkinan ada gelombang kedua penularan virus yang intens.
Ryan mendesak negara-negara untuk meningkatkan respons kesehatan publik mereka, agar mampu mengidentifikasi kasus baru, melacak dan mengisolasi semua orang yang melakukan kontak. Langkah-langkah ini diyakini mampu "menghindari gelombang kedua".
Namun ia menyoroti bahwa “banyak negara telah melakukan investasi yang sangat sistematis dalam membangun kapasitas kesehatan publik mereka selama lockdown, sementara yang lain tidak."
Tanpa tindakan ketat, populasi akan bentuk herd immunity
"Jika penyakit tetap ada di negara-negara miskin tanpa kapasitas untuk menyelidiki cluster (kelompok), mengidentifikasi kelompok, akan selalu ada risiko bahwa penyakit ini akan menyebar lagi," katanya.
Tanpa menyebutkan nama negaranya, Ryan menyatakan bahwa beberapa negara memilih untuk “menutup mata” dengan tidak secara signifikan meningkatkan kapasitas kesehatan mereka untuk menguji dan melacak kasus, padahal negara-negara tersebut sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan itu.
WHO memperingatkan bahwa bahkan jika negara-negara tidak mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan penyebaran virus, populasi mereka akan dengan cepat membangun apa yang disebut kekebalan kelompok atau herd immunity.
"Studi serologis awal mencerminkan bahwa populasi yang memiliki antibodi terhadap COVID-19 persentasenya relatif rendah," kata Tedros, seraya menunjukkan bahwa ini berarti "sebagian besar populasi masih rentan terhadap virus".
Lebih dari 90 penelitian serologis untuk mengungkap adanya antibodi dalam darah guna menentukan apakah seseorang memiliki infeksi sebelumnya, kini sedang dilakukan di beberapa negara.
Pimpinan teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove mengatakan bahwa sementara ini WHO belum dapat mengevaluasi secara kritis studi-studi tersebut. Data awal yang dikeluarkan menunjukkan bahwa antara satu hingga 10 persen orang memiliki antibodi.
"Tampaknya ada pola yang konsisten sejauh ini bahwa sebagian kecil orang memiliki antibodi ini," katanya.
Sepakat akan hal itu, Ryan mengatakan bahwa hasil serologis awal membantah anggapan umum bahwa sebagian besar kasus COVID-19 itu ringan dan tidak terdeteksi.
Hasil awal "menunjukkan sebaliknya ... bahwa proporsi orang dengan penyakit klinis yang signifikan sebenarnya proporsinya lebih tinggi" daripada yang diperkirakan sebelumnya, katanya sambil menekankan bahwa "ini adalah penyakit serius".
"Gagasan ini menyatakan bahwa mungkin negara-negara yang memiliki langkah-langkah kurang ketat... akan tiba-tiba secara ajaib mencapai kekebalan kelompok, dan tidak peduli jika kita kehilangan beberapa lansia selama proses ini berjalan ... ini adalah perhitungan yang sangat berbahaya, berbahaya," dia kata.
pkp/gtp (Reuters)