REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Sebuah survei terbaru menemukan bahwa sekitar dua pertiga orang Taiwan tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai orang China. Survei ini turut menyoroti tantangan yang akan dihadapi China dalam mengukuhkan kekuasaannya di Taiwan.
Survei yang dirilis PEW Research Center, lembaga yang berbasis di Amerika Serikat, pada Selasa (12/5) menemukan 66 persen memandang diri mereka sebagai orang Taiwan, 28 persen memandang dirinya sebagai orang Taiwan sekaligus orang China, dan hanya 4 persen yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang China. Survei dilakukan lewat sambungan telepon terhadap 1.562 responden pada tahun lalu. Margin of error survei ini 3,2 persen.
PEW Research Center menyatakan hasil survei mereka sejalan dengan survei-survei sebelumnya. Orang-orang Taiwan semakin mengidentifikasi dirinya sebagai orang Taiwan.
Taiwan merupakan negara yang lahir dari perang saudara di China. Perang itu membawa Mao Zedong yang seorang komunis ke tampuk kekuasaan China pada 1949. Sedangkan kelompok nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek melarikan diri ke Taiwan, sebuah pulau yang berada sekitar 160 kilometer dari pantai timur China.
Tujuh puluh tahun kemudian, generasi muda Taiwan akhirnya mengembangkan identitas diri yang berbeda. Di mana 83 persen responden yang berumur di bawah 30 tahun menganggap diri mereka bukanlah orang China.
Alexander Huang, seorang profesor di Universitas Tamkang di Taiwan, mengatakan hasil survei itu menunjukkan masalah politik, bukan latar belakang etnis. Penyebabnya karena warga Taiwan yang lebih muda tumbuh dalam iklim demokrasi, sementara China adalah negara satu partai.
Faktor lain, kata Huang, adalah tekanan diplomatik yang dilakukan China terhadap Taiwan dan latihan militer yang dilakukannya di sekitar Taiwan. “Kami pastinya adalah etnis Tionghoa. Tapi secara politis, saya pikir itu perbedaan besar. Sangat bisa dimengerti bahwa orang tidak ingin diidentifikasi sebagai orang China," kata Huang kepada AP, Selasa.
Taiwan sebagai negara diketahui tak pernah menyatakan kemerdekaannya. Meski demikian, dalam banyak hal ia bertindak layaknya sebuah negara karena memiliki kementerian luar negeri dan militer sendiri.
Sedangkan China masih menganggap pulau berpenduduk 23,6 juta orang itu sebagai bagian dari wilayahnya dan geram ketika membicarakan kemerdekaan. China lebih mendukung penyatuan keduanya secara damai meski tak menutup kemungkinan untuk menggunakan kekuatan militer.