REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA — Biro Statistik Australia melaporkan sepanjang April lalu terdapat 594.300 warga yang kehilangan pekerjaan. Itu merupakan rekor tertinggi hilangnya pekerjaan yang pernah dicatat Negeri Kanguru dalam sebulan karena tindakan lockdown.
“Ini adalah hari yang sulit bagi Australia, hari yang sangat sulit. Sangat mengejutkan, meskipun tidak terduga,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam sebuah pidato pada Kamis (14/5).
Tingkat pengangguran melonjak hingga 6,2 persen dibandingkan pada Maret lalu yang tercatat sebanyak 5,2 persen. Lonjakan itu merupakan yang tertinggi sejak September 2015.
Kendati demikian, angka itu lebih rendah dari perkiraan para ekonom yang sempat disurvei Reuters. Mereka memperkirakan angka pengangguran akan mencapai 8,3 persen. Sebagian besar karena penurunan signifikan dalam hal jumlah warga yang mencari kerja, termasuk beberapa orang penerima pembayaran darurat “pencari kerja” dari pemerintah.
Menurut Biro Statistik Australia jika orang-orang tersebut turut dimasukkan, tingkat pengangguran akan melonjak menjadi 9,6 persen. Itu merupakan yang tertinggi sejak 1997.
“Istilah ‘belum pernah terjadi sebelumnya’ dan ‘luar biasa’ digunakan secara teratur untuk menggambarkan efek Covid-19 terhadap perekonomian. Tapi ketika membahas dampaknya terhadap pasar kerja, istilahnya sesuai,” kata kepala ekonom di Commonwealth Bank of Australia Craig James.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah menyebut pandemi Covid-19 dapat menyebabkan 25 juta orang kehilangan pekerjaan. Sebab, wabah bisa memicu kejatuhan ekonomi.
"Ini bukan lagi hanya krisis kesehatan global, ini juga merupakan pasar tenaga kerja utama dan krisis ekonomi yang berdampak besar pada manusia," kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder pada 18 Maret lalu.
Berdasarkan skenario berbeda untuk dampak Covid-19 pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global, ILO mengatakan perkiraannya mengindikasikan kenaikan pengangguran global antara 5,3 juta (skenario "rendah") dan 24,7 juta (skenario "tinggi"). Sebagai perbandingan, krisis keuangan global 2008-2009 meningkatkan pengangguran global sebesar 22 juta.
ILO memperingatkan bahwa wirausaha di negara-negara berkembang, yang sering berfungsi untuk meredam dampak perubahan, mungkin tidak akan membantu kali ini. Hal itu karena adanya kebijakan pembatasan pergerakan orang dan barang.
Kendati demikian, ILO menilai dampak terhadap pengangguran global bisa jauh lebih rendah jika ada respons kebijakan yang terkoordinasi secara internasional, seperti saat krisis keuangan global 2008-2009.
"Pada 2008, dunia menghadirkan persatuan untuk mengatasi konsekuensi dari krisis keuangan global, dan yang terburuk bisa dihindari. Kita membutuhkan kepemimpinan dan tekad seperti itu sekarang," ujar Ryder.
ILO merekomendasikan langkah-langkah mendesak, berskala besar, dan terkoordinasi guna melindungi pekerja serta merangsang ekonomi dan pekerjaan. Ia pun mengusulkan upaya lain seperti kebijakan fiskal dan moneter, serta pinjaman atau dukungan keuangan untuk sektor ekonomi tertentu.