REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Ahad (17/5) bersumpah akan mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat yang kini tengah diduduki. Rencana pengambilalihan wilayah menjadi bagian dari negara Israel akan dimulai pada 1 Juli 2020.
"Daerah-daerah di negara ini adalah tempat kelahiran bangsa Yahudi. Sudah waktunya untuk menerapkan hukum Israel di sana," kata Netanyahu kepada Knesset, parlemen Israel, saat menyampaikan pemerintahan persatuannya.
Ia pun meyakini bahwa pencaplokan itu akan menghadirkan perdamaian di sana. "Permukiman ini akan menjadi bagian dari Israel dalam skenario apa pun," ucapnya dilansir Anadolu Agency, Ahad.
Pidato Netanyahu di Knesset itu sekaligus mengumumkan 19 menteri barunya di kabinet persatuan. Kabinet ini merupakan buah kemitraan Netahyahu dengan Benny Gantz dari Partai Biru dan Putih.
Keduanya bersepakat bersatu setelah berseteru selama setahun terakhir. Bergabungnya mereka juga disertai kesepakatan bahwa Gantz akan mengambil alih jabatan perdana meteri mulai 17 November 2021. Sementara itu, pencaplokan Tepi Barat akan dilakukan pada 1 Juli. Hal ini telah disepakati antara Netanyahu dan Gantz.
Palestina menentang keras renacana Netanyahu itu. Pejabat Pelestina mengancam akan menghapus perjanjian bilateral dengan Israel jika rencana pencaplokan dilanjutkan. Pencaplokan dinilai akan merusak solusi dua negara.
Pada 28 Januari lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana "kesepakatan abad ini". Ia menyebut Yerusalem sebagai "ibu kota Israel yang tidak terbagi" dan mengakui kedaulatan Israel atas sebagian besar Tepi Barat. Rencana Trump itu disertai pembentukan negara Palestina yang wilayahnya terpisah satu sama lain dan dihubungkan oleh terowongan.
Para pejabat Palestina mengatakan bahwa di bawah rencana AS itu, Israel akan mencaplok 30 sampai 40 persen daerah Tepi Barat. Perampasan wilayah itu termasuk semua Yerusalem Timur yang dipandang sebagai ibu kota negara Palestina pada masa depan.
Rencana Trump itu diketahui juga telah mendapat kecaman luas dari dunia Arab. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga menolak dan mengatakan semua negara anggota agar tidak terlibat dengan rencana ini ataupun bekerja sama dengan Pemerintah AS untuk mengimplementasikannya dalam bentuk apa pun.