REPUBLIKA.CO.ID, SANAA — Lebih dari 150 kelompok hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers mengecam putusan hukuman mati bagi empat jurnalis di Yaman. Mereka meminta PBB membantu membatalkan vonis tersebut.
“Tuduhan terhadap para wartawan dibuat-buat. Mereka hanya melakukan pekerjaannya sebagai jurnalis,” kata Direktur Eksekutif Gulf Centre for Human Rights Khalid Ibrahim saat diwawancara Aljazirah, Senin (18/5).
Direktur Eksekutif International Press Institute Barbara Trionfi turut menyoroti hukuman mati terhadap empat jurnalis Yaman. “Setelah bertahun-tahun dalam konflik, kebebasan pers telah mengalami kerusakan besar karena kurangnya rasa hormat terhadap supremasi hukum sebagai konsekuensi dari konflik (di Yaman),” ucapnya.
Dia berpendapat, dalam situasi ini satu-satunya alat yang tersisa untuk mengadvokasi kebebasan pers adalah tekanan internasional. Namun Trionfi juga agak pesimistis terhadap hal itu. Sebab bagaimanapun, upaya demikian sering dilemahkan oleh perpecahan politik akibat konflik Yaman.
Dari 150 kelompok yang mengecam vonis hukuman mati terhadap empat jurnalis Yaman, di dalamnya termasuk Sanaa Centre for Strategic Studies, the Yemeni Women Journalist Network, dan the Arab Coalition Against the Death Penalty. Pada 11 April lalu, Pengadilan Kriminal Khusus di Sanaa menjatuhkan hukuman mati pada empat jurnalis yakni Abdel-Khaleq Amran, Akram al-Walidi, Hareth Hamid, dan Tawfiq al-Mansouri.
Mereka ditangkap pada 9 Juni 2015. Hukuman mati dijatuhkan karena para terdakwa dituduh melakukan kegiatan mata-mata. Saat ditangkap lima tahun lalu, selain mereka, terdapat enam jurnalis lainnya yang turut dibekuk.
Mereka dihukum dengan tuduhan yang sama, termasuk menyebarkan berita bohong dan desas-desus yang diduga membantu koalisi militer pimpinan Arab Saudi. Koalisi tersebut telah melakukan intervensi militer di Yaman sejak 2015 dengan tujuan memerangi kelompok Houthi.