Rabu 20 May 2020 19:58 WIB

Akankah Ketegangan Iran-AS Terus Berlanjut di Timur Tengah?

Konflik militer dalam bentuk proxy war antara Iran dan Amerika masih berlanjut.

Rep: Zehra Nur Duz/ Red: Elba Damhuri
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Foto: AP
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Baik Amerika Serikat (AS) maupun Iran tak memiliki niat meningkatkan konflik setelah serangan drone AS pada Januari lalu menewaskan jenderal top Iran di Irak. Demikian pandangan ahli dari Turki.

Sementara pakar lainnya berpendapat peningkatan ketegangan dan konflik militer akan berlanjut dalam jangka menengah dan panjang.

Pada Januari lalu, Korps Pengawal Revolusi Islam Iran meluncurkan belasan rudal balistik terhadap militer AS dan pasukan koalisi di Irak sebagai balasan atas kematian Jenderal Qasem Soleimani.

Hal ini terjadi setelah parlemen Irak memutuskan untuk mengusir pasukan Amerika. Sebaliknya, Presiden AS Donald Trump menolak keputusan itu dan mengancam Baghdad dengan sanksi.

Kematian Jenderal Soleimani menjadi titik rendah hubungan Iran dan Amerika. Irak pun ikut terlibat dalam ketegangan ini di mana kematian terjadi saat Soleimani berada di Irak.

"Saya tidak berharap ketegangan akan semakin memburuk," kata Ahmet Uysal, kepala Pusat Studi Timur Tengah (ORSAM) yang berbasis di Ankara.

Uysal menyatakan konflik Iran-AS hanya berlangsung seperti cara-cara sebelumnya yakni melalui perang proxy dan dalam intensitas rendah.

Teheran tampaknya tidak memiliki kekuatan maupun niat untuk meningkatkan konflik setelah rudal balasannya hanya menyerang daerah-daerah kosong di sekitar markas AS dengan beberapa proyektil yang kurang memiliki hulu ledak, kata Uysal kepada Anadolu Agency.

Demikian juga, kata Uysal, belum ada reaksi serius dari pemerintahan Trump, apalagi tidak ada korban jiwa dari Amerika.

Untuk meredakan ketegangan, Presiden AS Donald Trump mengatakan kepada wartawan: "Iran tampaknya memilih mundur, yang merupakan keputusan terbaik bagi semua pihak terkait, dan sangat baik bagi dunia."

Trump mengatakan tidak ada personil militer yang terluka dalam serangan itu. Hal ini menandakan tidak akan ada agresi lanjutan dari AS. Meskipun Trump menjanjikan sanksi tambahan bagi Iran.

Uysal menekankan kedua negara hanya akan terlibat dalam konflik tidak langsung sebagaimana yang selama ini terjadi. 

"Namun proxy Iran mungkin akan menyerang pangkalan AS," kata dia, merujuk pada kelompok Houthi di Yaman dan kelompok Hashd al Shabi di Irak.

Uysal tidak menampik kemungkinan adanya kesepakatan yang tercapai sebelum pemilu AS mendatang karena sanksi sangat melumpuhkan ekonomi Iran.

Menggambarkan wacana Iran tentang "memotong kaki AS di Timur Tengah" hanya imajinasi, Uysal mengatakan AS tidak akan meninggalkan Irak atas desakan Teheran dan Iran tidak memiliki kekuatan untuk mendorong AS keluar.

Namun, Uysal menambahkan AS dapat membatasi peran Iran di Timur Tengah, terutama di Irak dan Suriah.

Uysal juga menyoroti meningkatnya kekhawatiran Israel karena adanya potensi serangan oleh Hizbullah atau Iran.

Uysal memprediksi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menggunakan pengaruhnya atas Trump untuk menunda eskalasi.

Netanyahu pada Januari lalu memperingatkan "balasan keras" terhadap Iran jika menyerang Israel saat ketegangan meningkat di kawasan.

"Siapa pun yang menyerang kami akan menerima balasan yang keras," kata Benjamin Netanyahu dalam konferensi Kohelet Policy Forum, think-tank yang berbasis di Yerusalem.

Memuji Presiden AS Donald Trump dan keputusannya untuk membunuh Qasem Soleimani, Netanyahu mengatakan mendukung serangan itu.

Namun, Netanyahu menerangkan Israel tidak terlibat dalam pembunuhan Soleimani dan tidak boleh terseret dalam masalah ini.

Meningkatnya ketegangan, konflik militer terus berlanjut

Ahli lain berpendapat eskalasi antara Iran-AS kemungkinan akan berlanjut dalam jangka menengah dan panjang.

Menurut Hakki Uygur, wakil kepala Pusat Studi Iran di Ankara, penekanan Trump pada NATO dan pengumumannya untuk menambah sanksi Iran menunjukkan respons jangka pendek dari eskalasi antara kedua negara.

"Tidak ada perubahan dalam strategi utama kedua negara," kata Uygur. "Kita akan segera menghadapi krisis baru."

Presiden Trump pun telah meminta NATO untuk “lebih terlibat di Timur Tengah."

Trump menekankan AS dan Iran harus bekerja sama dalam "prioritas bersama," termasuk dalam melawan organisasi teroris Daesh / ISIS.

Menggarisbawahi bahwa ketegangan lama antara kedua negara telah menjurus pada perang militer, Uygur mengatakan: "Meningkatnya ketegangan dan konflik militer akan terus berlanjut."

Uygur memprediksi Iran akan melakukan serangan yang langsung berhadap-hadapan dengan AS, dari pada serangan yang dapat diukur sebelumnya.

Uygur juga mengatakan jika AS menyerang 52 target di Iran seperti yang Trump katakan, konflik berisiko menyebar ke negara-negara ketiga.

 

https://www.aa.com.tr/id/berita-analisis/akankah-ketegangan-iran-as-berlanjut-di-timur-tengah/1700924

sumber : Anadolu Agency
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement