Jizun memang sedang menuntut ilmu di North Carolina State University untuk jenjang doktoral. Penerima beasiswa Fulbright ini mengambil jurusan ilmu kehewanan dengan spesifikasi Equine Science, atau ilmu tentang kuda.
Seiring kasus Covid 19 terus melonjak pada pertengahan Maret, gubernur North Carolina memberlakukan peraturan bagi masyarakat untuk tinggal di rumah saja atau stay-at-home order.
“Peraturan untuk tinggal di rumah ini tidak sama dengan lockdown total karena setiap orang masih diberikan izin untuk keluar rumah terutama untuk keperluan sehari-hari,” tutur Jizun kepada Republika.
Pelaksanaan pembatasan di Kota Raleigh, sebagai ibu kota North Carolina ini berimbas pada penutupan berbagai bisnis termasuk sekolah dan perguruan tinggi kecuali bisnis-bisnis vital seperti urusan pemerintahan, penyedia bahan makanan, restoran, layanan kesehatan, dan sebagainya. Pengelola restoran mendapatkan izin operasional hanya untuk dibungkus bawa pulang dan tidak ada yang boleh makan di restoran.
Kegiatan belajar juga semua menjadi online. Setengah dari semester musim semi ini berjalan dengan sistem kuliah jarak jauh secara daring.
Pada musim semi ini, durasi puasa adalah kurang lebih 16 jam, dengan waktu subuh yaitu pukul 04.31 waktu setempat. Walaupun begitu, Jizun tidak terasa terlalu susah karena kebanyakan aktivitas dilakukan di dalam rumah. Komunitas muslim di Nota Raleigh tergolong besar yaitu mencapai ribuan orang.
Imam masjid di Kota Raleigh sudah memfatwakan agar masjid ditutup sementara. Ini bahkan dilakukan sebelum keluar peraturan dari gubernur North Carolina untuk tinggal di rumah saja. Maka kegiatan berbuka, sahur hingga shalat tarawih pun harus dilakukan di rumah masing-masing.
“Ramadan kali ini menjadi satu-satunya bulan puasa dalam sejarah hidup saya, saat orang-orang Muslim yang berpuasa harus mematuhi peraturan dan harus menjauh secara fisik dari masjid,” kata Jizun.
“Saya sering memasak untuk makanan buka dan sahur. Menu wajib saya tentunya nasi putih sebagai sumber karbohidrat utama saya,” kata Jizun.
Maka, rice cooker selalu menemaninya. Untuk berbuka, ia sering menyiapkan jus dan kurma sebagai sajian awal. “Saya juga kerap memasak ayam goreng, telur ceplok, omelet, kari ayam, dan kadang-kadang rendang.”
Bumbu-bumbu makanan Indonesia seperti bumbu nasi goreng, nasi kuning, rendang, dan kari, semua tersedia di toko makanan Asia yang di sini dinamakan Grand Asia Market. Maka mulai dari sambal dan kecap manis, hingga mie instan, dapat diperoleh Jizun dengan mudah.
Bahkan ada beberapa toko daging halal di sekitaran pusat perbelanjaan. Daging yang mereka sediakan meliputi daging sapi segar, daging ayam, daging kambing, dan produk-produk olahan seperti sosis dan lainnya. Untuk makanan siap saji seperti nasi ayam briyani dan ayam bakar ala Timur Tengah juga dengan mudah bisa didapatkan.
“Namun buat saya yang mengandalkan uang bulanan dari beasiswa, saya tidak bisa belanja makanan siap saji terlalu sering karena akan terbilang sangat mahal. Contohnya, harga satu nasi ayam Biryani bisa sekitar 12 dolar AS. Padahal uang ini bisa saya gunakan untuk makan dua sampai tiga hari bila saya memasak sendiri,” kaya Jizun.
Ilmu tentang kuda
Jizun dibesarkan sebagai peternak kuda sejak saya sekolah di bangku SD jadi menekuni kuda lebih dalam adalah niat saya sejak ia kecil. Ia menuturkan, Equine Science atau ilmu kuda ini mencakup nutrisi, reproduksi, maupun pembiakan. Kuda adalah hewan yang juga dijadikan hewan piaraan, atau pets. Maka orientasi pemeliharaan kuda belum tentu untuk memasok daging atau susu sebanyak-banyaknya, melainkan ke arah kesehatan atau fitness.
Ketika kuda dijadikan sebagai “hewan olahraga”, cabang ilmu kuda juga mencakup fisiologi olahraga. Itulah yang dipelajari Jizun saat berkuliah kuliah S2 di University of Queensland-Australia.
“Untuk S3 saya saat ini, fokus studi saya lebih mengarah pada nutrisi dan manajemen pemeliharaan kuda. Cita-cita saya ke depan adalah menjadi salah satu perintis pengembangan Ilmu Kuda di Indonesia,” harapnya.
Kuda sangat terkait dengan peradaban dan budaya di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, Jizun mengakui sangat sulit menemukan akademisi yang keahliannya fokus pada kuda bahkan di jurusan ilmu kehewanan di universitas-universitas di Indonesia.
“Bagi saya, kenangan masa kecil mencari rumput, memberi makan hewan piaraan dan memandikannya, membersihkan kandang, hingga pengalaman ditendang kuda, kaki terinjak, digigit, dan ketiduran di atas tumpukan rumput, kesemuanya telah menuntun langkah saya menuju sebuah destiny atau takdir,” tuturnya.
Lantas, apa kaitan takdir dan pandemi Covid 19 menurut Jizun?
“Mungkin selama ini kita lupa untuk menghargai hal-hal kecil seperti oksigen yang kita hirup. Setidaknya, pandemi ini bisa menjadi waktu untuk bersyukur, berterima kasih pada Tuhan, bukan untuk berkabung,” ujarnya. “Ramadhan Mubarak,” kata Jizun, menutup kisahnya.