Menyongsong Lebaran masjid-masjid di Indonesia akan mulai dibuka akhir pekan ini, di tengah banyaknya pusat perbelanjaan yang dipadati pengunjung sehingga kesulitan untuk menerapkan "social-distancing".
Menurut data resmi, Indonesia merupakan negara dengan kasus COVID1-9 terbesar di Asia Tenggara setelah Singapura, dengan kasus sebanyak 19.189 dan kematian yang mencapai 1.242 menurut laporan Rabu kemarin.
Namun, dengan rendahnya tingkat pengetesan, diperkirakan jumlah tersebut lebih besar.
Singapura, di lain sisi, memiliki 28.000 kasus dengan angka kematian yang hanya sebanyak 22 orang.
Untuk mengurangi penyebaran COVID-19, Pemerintah mewajibkan umat Muslim beribadah di rumah dalam rangka merayakan Idul Fitri.
Kemarin, Nadhatul Utama mengeluarkan fatwa yang melarang warga untuk melakukan salat Id di masjid atau tempat lainnya, selain di rumah.
"Sementara di daerah yang sudah ditetapkan sebagai zona merah oleh pemerintah, haram hukumnya melaksanakan shalat Ied di masjid atau tanah lapang," bunyi fatwa tersebut.
"Sebab, menghindari kerumunan banyak orang yang diduga kuat sebagai salah satu sarana penyebaran virus corona adalah wajib," bunyinya lagi.
"Dan secara fiqhiyyah, menjaga diri agar tidak tertular virus tersebut merupakan perkara wajib yang harus diutamakan daripada menjalankan shalat Ied di masjid atau tanah lapang yang disunnahkan. "
Imbauan ini juga disuarakan oleh Presiden Joko Widodo dalam twitnya yang berbunyi,"kunci keberhasilan pengendalian penyebaran Covid-19 adalah kedisiplinan kita. Disiplin untuk mencuci tangan, menjaga jarak, mengenakan masker, dan menghindari keramaian."
Namun, menurut Pandu Riono, ahli epidemiologi Universitas Indonesia, banyak orang masih tidak mengerti mengapa mereka harus tetap tinggal di rumah dan membatasi aktivitas di luar.
"Semua orang membicarakan 'social-distancing"...tanpa mengerti maksudnya. 'Apa itu COVID? Saya tidak melihat COVID," kata dia.
"Hanya beberapa keluarga yang sanak saudaranya sudah meninggal karena COVID yang mengerti."
Aturan di masjid 'sulit diterapkan'
Indonesia telah menjalankan PSBB, sama halnya dengan Malaysia, sebagai negara yang juga khawatir kondisi perekonomiannya akan terdampak besar-besaran.
Presiden Joko Widodo menekankan bahwa setiap negara memiliki karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda, yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk tidak menerapkan 'lockdown'.
Pola pikir ini menimbulkan masalah lain, yaitu keraguan yang dimiliki pihak berwajib dalam mengambil langkah tegas ketika melaksanakan pembatasan sosial, misalnya membubarkan acara keagamaan, karena takut menerima serangan reaksi dari masyarakat.
Meskipun MUI sudah mendorong warga Muslim untuk tinggal di rumah, masih ada kekhawatiran bahwa mereka akan tetap beribadah di masjid.
Laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) di Jakarta minggu ini memperingatkan resiko penyebaran COVID-19 oleh perkumpulan aktivitas keagamaan, terutama di momen Ramadan.
"Organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah mewajibkan warga Muslim untuk melakukan salat [Id] di rumah, bukan masjid. Namun kebijakan ini ini akan sulit terlaksana," bunyi laporan mereka.
"Kurangnya pedoman yang jelas atau keterangan sanksi dapat menimbulkan dua hal: klaster baru 'superspreader' [atau pasien yang menularkan virus corona] atau perilaku main hakim sendiri, karena beberapa kelompok akan membuat aturannya sendiri."
Pembatasan dalam hal ibadah beragam di setiap daerah di Indonesia. Di Bekasi, wali kota Rahmat Effendi mengatakan bahwa warga yang tinggal di 30 'zona hijau' diizinkan untuk beribadah di masjid ketika shalat Ied.
Pemerintah provinsi Jawa Timur, yang memiliki kurang lebih 40 juta penduduk, akan membuka masjid untuk kegiatan salat Id.
Beberapa prosedur seperti kewajiban memakai masker, cek suhu badan, aturan berjarak dua meter antar jemaat ketika salat, penyediaan sabun, dan penyingkatan waktu ibadah, akan diberlakukan di sana.
Sementara itu di Aceh, ibadah memang sudah berjalan seperti biasa sejak awal dimulainya wabah COVID-19.
"Ibadah salat Jumat dan salat Tarawih terbukti menciptakan klaster, walaupun angkanya jauh lebih kecil [dari jumlah jemaat biasanya yang ikut salat Id]," kata Dyah Ayu Kartika, analis IPAC, kepada ABC.
Dyah mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah seharusnya lebih konsisten untuk menghentikan penyebaran COVID-19.
Walaupun Pemerintah seolah-olah telah melarang mudik, kurang lebih satu juta orang diperkirakan telah meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung mereka.
"Di satu sisi, [pihak berwenang] telah melarang warga untuk pulang kampung, tapi di sisi lain, transportasi umum tetap beroperasi," katanya.
"Akan muncul lebih banyak celah yang dapat dijadikan alasan oleh masyarakat, dan tanpa sanksi yang berat, resiko ini akan menjadi lebih besar."
Epidemiolog Pandu Riono mengatakan bahwa masalah lain yang dapat timbul setelah Ramadan adalah arus balik ke Jakarta, yang menurutnya dapat menciptakan penyebaran baru.
Penyampaian pesan harus lebih jelas
Foto kerumunan orang yang beredar di media sosial, termasuk salah satunya di pelanggaran di Bandara internasional Soekarno Hatta, sudah dikenakan sanksi, namun tidak menghentikan masyarakat dari melanggar aturan 'social-distancing' di tempat-tempat lain.
Seperti pemandangan yang ditemukan di Australia ketika Natal, belanja masyarakat pada umumnya meningkat secara signifikan di tengah Ramadan, di mana orang-orang biasanya membeli baju baru.
Hal ini terjadi di Tangerang, yang melalui gambar dan video di internet, terlihat memadati Mal CBD Ciledug untuk membeli hadiah dan pakaian baru menjelang hari raya.
Rekaman lainnya menunjukkan pasar yang dibanjiri pengunjung untuk membeli makanan dan perlengkapan lainnya untuk merayakan Ramadan.
Pandu Riono menyalahkan inkonsistensi kebijakan Pemerintah yang dibarengi dengan buruknya cara penyampaian pesan ke masyarakat.
"Bagaimana aturan bisa diikuti? Masyarakat tidak mengerti. Pemerintah daerahnya saja tidak mengerti," kata dia.
Menurutnya, penyampaian pesan harus jelas, sederhana, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah, misalnya melalui sinetron atau pertunjukkan wayang.
Pandu adalah salah satu dari ratusan ilmuwan yang mengaku tidak dihiraukan Pemerintah atau pembuat kebijakan di tengah pandemi.
Ia mengatakan bahwa sebenarnya ahli kedokteran sudah memperingatkan Pemerintah untuk serius menangani COVID-19 dari awal, namun tidak dihiraukan.
"[Mereka mengatakan bahwa] 'Indonesia bisa bebas dari [penyakit ini] karena kita memiliki karakter unik'...namun pernyataan ini tidak didasarkan pada sains."
Pengerahan polisi dan militer di Malaysia
Di Malaysia, negara yang juga mayoritas penduduknya beragama Muslim, polisi dan petugas militer dikerahkan untuk memastikan agar masyarakat mematuhi pembatasan sosial yang berlaku.
Salah satu aturan yang berlaku di tengah Ramadan adalah pembatasan perkumpulan hingga 20 orang.
Pihak berwenang Malaysia juga telah melarang warganya yang ingin pulang kampung untuk merayakan Ramadan, dengan langkah yang terlihat lebih tegas dibandingkan Indonesia.
Menteri Kesehatan Malaysia melaporkan kasus virus corona di negara tersebut telah mencapai angka 7.000 Rabu ini, dengan kematian sebanyak 114 orang.
Setelah selama berminggu-minggu menjadi salah satu negara dengan kasus terbanyak di Asia Tenggara Malaysia telah menerapkan 'lockdown' sangat ketat, yang dikenal sebagai 'movement control order' atau perintah pengontrolan pergerakan.
Aturan yang sempat berlaku yaitu belanja yang hanya boleh dilakukan satu orang per keluarga dan larangan berolahraga di luar.
Larangan tersebut dilonggarkan sejak beberapa minggu lalu setelah jumlah kasus mengalami penurunan dan tingkat infeksi sudah melambat.
Kebanyakan bisnis telah dibuka untuk menambal kerugian ekonomi negara, dan di kota besar seperti Kuala Lumpur, warga yang berada di 'zona hijau' diizinkan untuk beribadah di masjid saat Ramadan.
Walau demikian, tetap saja ada warga yang berpendapat bahwa pelonggaran ini terlalu cepat diberlakukan.
"Banyak orang berpikir bahwa aturan ini terlalu cepat dilonggarkan. Masih tidak aman," kata Dr Roslina Abdul Latif, pakar komunikasi di Taylor's University kepada kantor berita Malaysia Bernama.
"Kita memang merindukan bertemu dengan orangtua untuk melakukan buka puasa bersama… [namun] kita beresiko menularkan virus kepada mereka yang termasuk dalam kategori [rentan] atau menjadi korban terbanyak di tengah pandemi," kata dia.
"Kita juga tidak tahu apakah kita ini pembawa virus apa bukan."
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini