REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Lebanon berada dalam risiko krisis pangan parah dan banyak warganya akan segera kesulitan membeli roti. Perdana Menteri, Hassan Diab, mengatakan kondisi tersebut akibat dari krisis keuangan yang akut karena penyebaran virus corona.
Melalui tulisan di Washington Post, Diab juga memperingatkan tentang darurat keamanan pangan global yang dipicu oleh pandemi. Dia mengatakan, upaya untuk membatasi ekspor pangan harus ditentang dan meminta Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) untuk menyiapkan dana darurat agar membantu Timur Tengah menghindari krisis yang parah.
"Kelaparan dapat memicu aliran migrasi baru ke Eropa dan selanjutnya membuat wilayah itu tidak stabil," ujar Diab.
Diab mengatakan, harga makanan impor naik lebih dari dua kali lipat sejak awal 2020. Padahal, lebih dari separuh makanan Lebanon diimpor.
Sebanyak 80 persen gandum Lebanon berasal dari Ukraina dan Rusia. Namun, bulan lalu, Rusia menghentikan ekspor gandum, sementara Ukraina mempertimbangkan langkah serupa.
"Setelah menjadi lumbung dari Mediterania Timur, Lebanon menghadapi tantangan dramatis yang tampaknya tak terbayangkan satu dekade lalu, risiko krisis pangan besar," katanya.
Lebanon berada dalam krisis mendalam bahkan sebelum Covid-19 hadir. Nilai mata uang lokal anjlok sejak Oktober. Inflasi dan pengangguran melonjak serta gagal bayar utang pada Maret.
"Beberapa minggu yang lalu, Lebanon menyaksikan 'protes kelaparan pertama'. Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan dan sayuran, dan mungkin akan segera kesulitan untuk membeli roti," ujar Diab.
Presiden yang menjabat tahun ini menyalahkan salah urus politik pada tahun-tahun sebelumnya. Dia menyatakan, korupsi terjadi karena kurangnya investasi di bidang pertanian.