Jumat 22 May 2020 09:16 WIB

China Rencanakan UU Keamanan Nasional untuk Hong Kong

China akan mengusulkan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
China siap menggelar sidang parlemen yang dibuka Jumat (22/5). China akan mengusulkan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong. Ilustrasi.
Foto: Andy Wong/AP
China siap menggelar sidang parlemen yang dibuka Jumat (22/5). China akan mengusulkan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - China akan mengusulkan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong sebagai tanggapan atas protes pro-demokrasi tahun lalu. Hal itu dikabarkan oleh media China Xinhua yang mengatakan bahwa parlemen China akan membahas undang-undang baru yang kontroversial pada sesi tahunannya pekan ini.

Hal ini mungkin akan memicu kerusuhan di wilayah semi-otonom Hong Kong. Undang-undang ini akan diperkenalkan pada pertemuan Sidang Kongres Rakyat Nasional yang dibuka pada Jumat (22/5).

Baca Juga

Persiapan sesi pertemuan parlemen China mengadopsi agenda yang mencakup draft untuk meninjau RUU tentang membangun dan meningkatkan sistem hukum Hong Kong. Selain itu pertemuan juga membahas mekanisme penegakan hukum untuk Wilayah Administratif Khusus Hong Kong guna menjaga keamanan nasional.

Surat kabar South China Morning Post mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya mengatakan, undang-undang tersebut akan melarang pemisahan diri, campur tangan asing, "terorisme", dan semua kegiatan hasutan yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di bekas jajahan Inggris.

Laporan koresponden Aljazirah Katrina Yu dari Beijing mengatakan, undang-undang itu menandakan bahwa Beijing memegang kuasanya atas kerusuhan politik di Hong Kong yang memicu hampir satu tahun unjuk rasa tak terputus mulai Juni 2019. Protes-protes itu awalnya sebagai tanggapan terhadap RUU ekstradisi yang diperkenalkan di legislatif Hong Kong.

RUU kontroversial itu akan memungkinkan Beijing untuk mengekstradisi individu-individu yang dituduh ke daratan untuk diadili. RUU itu macet dan kemudian ditarik.

"Apa yang akan terjadi, seperti yang kita pahami, (parlemen China) akan membuat amandemen terhadap hukum dasar, yang merupakan mini-konstitusi Hong Kong, menggunakan pintu belakang hukum yang pada dasarnya memungkinkannya untuk melewati proses legislatif yang biasa di Hong Kong," kata Yu dilansir Aljazirah.

"Ini karena, seperti yang dilihat Beijing, ada terlalu banyak pertentangan dari pembuat undang-undang pro-demokrasi di Hong Kong. Jadi mereka harus memasukkan ini ke dalam sistem hukum mereka sendiri (China) dan membuat pemaksaan yang sangat kuat dari kekuatan mereka," ujarnya menambahkan.

Hong Kong adalah bekas koloni Inggris. Wilayah ini diserahkan kembali kepada Inggris pada 1 Juli 1997. Namun, ada kesepakatan bahwa Hong Kong akan memiliki sistem politik sendiri yang berbeda dari China daratan yang dikenal dengan "one country two systems". Dengan sistem tersebut, Hong Kong masih dapat menikmati kebebasan demokrasi dibandingkan China daratan.

Dengan UU baru ini, maka kebebasan berserikat dan berkumpul dibatasi. Para pelanggar UU dinilai sebagai tindakan subversif.

Seorang anggota terkemuka Partai Demokrat Hong Kong Emily Lau mengatakan bahwa penduduk Hong Kong sangat prihatin, khawatir, dan terganggu dengan UU baru itu yang akan mengambil kebebasan, mengambil keselamatan ribadi dan aturan hukum. "Sekarang sepertinya [Beijing] melanggar semua janji dan mereka ingin membuat undang-undang untuk kita," katanya.

Peneliti senior China untuk Human Rights Watch Maya Wang menggambarkan langkah itu sebagai "akhir Hong Kong". Dia mencicit lewat akun Twitternya bahwa UU itu tidak hanya mengkhawatirkan bagi rakyatnya tetapi juga bagi dunia.

"#HongKong telah menjadi pelabuhan aman bagi perbedaan pendapat; ini adalah cahaya, hati nurani, suara yang berbicara kebenaran kepada China yang semakin kuat," cicitnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement