Senin 25 May 2020 17:01 WIB

Belajar Bahasa Inggris di Tanah Konflik

Sejumlah mahasiswa Suriah menghidupkan kebali kelas bahasa Inggris secara daring.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Agus Yulianto
 Anak-anak pengungsi Suriah berjalan bersama keluarganya. (REUTERS/Marko Djurica)
Anak-anak pengungsi Suriah berjalan bersama keluarganya. (REUTERS/Marko Djurica)

REPUBLIKA.CO.ID, Who got married? Who had a baby? Have we lost anyone? Pertanyaan menggunakan Bahasa Inggris itu muncul ketika percakapan di dalam sebuah kelas daring harus terputus-putus akibat sinyal yang buruk di Suriah.

Melalui jalur internet yang jelak dan koneksi yang sulit diandalkan, sekelompok mahasiswa di Suriah baru-baru ini bersatu kembali setelah hampir dua tahun. Mereka menghidupkan kembali kelas bahasa Inggris dan komunitas kecil secara daring dari kantong-kantong daerah yang dikuasai oposisi.

Saat virus korona menyebar, sekolah dan universitas di seluruh dunia telah bergegas untuk beralih ke pendidikan daring, begitu juga Suriah. Langkah ini menyatukan siswa yang dipisahkan oleh perang, jarak, dan rintangan teknologi.

Para siswa menghabiskan banyak pelajaran pertama untuk mengejar ketinggalan. Terkadang mereka harus mengulang panggilan zoom hingga dua kali. Dalam satu kelas, delapan siswa bersatu untuk belajar di bulan Ramadhan.

Mereka berbicara melalui koneksi internet yang sering putus di tengah pembelajaran. "Ini Ramadhan terburuk," kata salah seorang siswa bernama Fatima Darwish.

Fatima telah terlantar akibat serangan pemerintah di Provinsi Aleppo. Dia dipaksa untuk menghabiskan Ramadhannya berkerumun di tempat baru yang aneh, sebuah desa yang dia tidak kenal siapa pun. Guru-guru Darwish memberikan simpati, lalu mengingatkannya bahwa banyak orang lain di daerah yang dikuasai pemberontak berbagi nasib sama.

Kelas lain yang berjalan bulan lalu, sebanyak 19 siswa membahas batasan virus korona. Salah satu murid mengatakan, orang tidak menganggap pandemi serius, melihatnya hanya sebagai gelombang pembunuhan lainnya.

Pekan lalu, para siswa menyesalkan bagaimana pembatasan virus telah meredam semangat Ramadhan. Mereka tidak dapat melakukan kegiatan berbuka puasa dengan keluarga besar dan teman yang berkunjung dan melakukan tarawih, yang menjadi ciri khas Ramadhan.

Sedangkan siswa yang lain mengatakan, kondisi saat ini tidak mengubah kehidupan sehari-hari. Sebab, untuk daerah yang dikuasai pemberontak, orang masih merasa terisolasi dari dunia seperti sebelumnya.

Sebelum pandemi, persepsi umum di wilayah itu bahwa pendidikan daring adalah pengalaman yang mahal dan impersonal. Sekarang, pandangan itu berubah. "Semua orang sedang daring. Gagasan kursus daring berubah dalam ingatan orang," kata salah satu pendiri Institute of Language Studies, Abdulkafi Alhamdo.

Sosok yang mengungsi di Idlib menyatakan, persepsi yang berubah ini mendorong beberapa orang untuk melakukan perubahan. "Itulah sebabnya kami memiliki keberanian untuk melakukannya," ujar Alhamdo.

Kelas daring ini semacam keluarga baru, terutama bagi mereka yang kehilangan selama perang. Awalnya kelas daring ini didirikan di wilayah Timur kota Aleppo, wilayah yang dikuasai pemberontak pada 2015. Setelah itu Institute of Language Studies pindah ke Idlib tahun berikutnya, setelah pasukan pemerintah merebut kembali semua Aleppo.

Sekolah selamat dari serangan pemerintah dan pemberontakan, tetapi jarak yang akhirnya memaksa untuk penutupan. Alhamdo melakukan dua jam perjalanan dari sekolah dan ini artinya dia berjalan di zona perang.

Warga Suriah di wilayah yang dikuasai pemberontak telah mengatasi banyak hambatan dalam perang saudara di negara itu. Mereka bersatu untuk mengadakan kelas di tempat perlindungan bawah tanah atau memindahkan ruang sekolah di antara kamp-kamp pengungsian.

Wilayah yang dilanda perang ini memiliki listrik sporadis dan bergantung pada internet satelit untuk komunikasi. Kelompok yang memfasilitasi pendidikan virtual, Hurras Network, menyatakan, saat ini  hampir 60 persen dari 500 ribu siswa yang terdaftar di barat laut Suriah diperkirakan telah bergabung dengan program pendidikan daring.

Perwakilan Hurras Network, Layla Hasso menyatakan, untuk kelas bahasa Inggris sesi Zoom berlangsung larut malam. Kelas ini dipandu oleh Wissam Zarqa yang juga pendiri Institute of Language Studies, tetapi sedang tinggal di Turki untuk melanjutkan studi pascasarja.

Mereka semua setuju bahwa ada satu hal kehilangan yang tidak dapat diganti oleh kelas daring pembagian permen. Biasanya siswa akan mendapatkan hadiah itu untuk merayakan pernikahan, bayi baru lahir, dan berita gembira lainnya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement