REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA— Kejaksaan Agung Kolombia, Kamis (21/5), mengatakan akan mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap 10 wali kota yang diduga terlibat korupsi selama dua bulan negara itu menjalani karantina wilayah akibat pandemi Covid-19.
Inspektor jenderal di Kolombia juga menjatuhkan 152 sanksi disiplin terhadap 512 orang, yang di antaranya turut melibatkan pejabat di 26 kantor pemerintah provinsi dan 271 kantor wali kota.
Korupsi jadi isu politik yang banyak dibicarakan di Kolombia. Aksi pidana itu, menurut perkirakan otoritas terkait, merugikan keuangan negara sampai lima persen dari nilai produk domestik bruto (PDB) per tahun atau setara 13 miliar dolar AS (sekitar Rp193,48 triliun).
Otoritas di Kolombia mengungkapkan bahwa para pelaku korupsi diduga menaikkan harga pembelian makanan dan perlengkapan medis.
Mereka juga diduga menyerahkan proyek pengadaan ke perusahaan yang tidak berpengalaman, hanya karena mereka dekat dengan pejabat.
Pernyataan bersama itu disampaikan kejaksaan, pengawas keuangan dan kantor inspektorat jenderal saat acara jumpa pers virtual.
"Kami berperang mempertahankan sumber daya milik rakyat Kolombia, yang sakral dan karena krisis jadi semakin langka," kata Inspektur Jenderal Fernando Carrillo seraya meminta warga terus melaporkan dugaan penyalahgunaan dana.
Inspektur jenderal dapat menjatuhkan sanksi disipliner terhadap pejabat publik, sementara kantor jaksa agung melakukan penyelidikan pidana, dan pengawas keuangan bertugas mengembalikan kembali uang negara yang hilang.
Jaksa Agung, Francisco Barbosa, mengatakan pihaknya memeriksa kembali sekitar 3.000 kontrak yang diduga menyimpang dan menemukan informasi, yang membuat surat perintah penangkapan untuk 10 wali kota dapat dikeluarkan.
"Kami tidak akan membiarkan sumber daya masyarakat ini digunakan secara tidak patut," kata dia.
Wali Kota Armenia, kota yang berada di daerah penghasil kopi, menjadi salah satu pejabat yang diduga terlibat korupsi itu.
Sementara itu, Pengawas Keuangan Negara, Carlos Felipe Cordoba, mengatakan pihaknya telah mengkaji kontrak senilai 3,1 triliun peso (sekitar Rp12,1 triliun) terkait pengadaan barang atau jasa terkait penanggulangan pandemi.
Pengawas keuangan menemukan adanya kelebihan biaya (mark up) senilai 110,4 juta dolar AS (sekitar Rp1,6 triliun) dari kontrak tersebut. Sebagian besar kontrak berkaitan dengan pengadaan alat kesehatan untuk rumah sakit dan perlengkapan pelindung diri, makanan serta kebutuhan layanan kesehatan lainnya.
“Dua belas pemerintah provinsi dan 10 pemerintah kota terlibat dalam kasus korupsi itu, sementara Angkatan Laut harus membayar harga dua kali lipat untuk kurang lebih 1,7 juta unit masker," katanya menambahkan.