REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW — Myanmar telah menyerahkan laporan pertamanya terkait langkah-langkah perlindungan terhadap Muslim Rohingya, Senin (25/5). Laporan diberikan kepada Pengadilan Pidana Internasional (ICJ) selaku pihak yang memberi mandat tersebut.
ICJ tidak merilis detail terkait laporan pertama yang diserahkan Myanmar. Sementara Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan bahwa isi laporan itu bersifat rahasia.
Dalam dua bulan terakhir, Myanmar telah menerbitkan arahan presiden yang memerintahkan personel pemerintah untuk tidak melakukan atau menghancurkan bukti genosida. Ujaran kebencian pun dilarang. Namun, kelompok hak asasi manusia menyebut belum ada tindakan pencegahan berarti yang telah diambil Myanmar.
Pada November tahun lalu Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ di Den Haag, Belanda. Gambia menilai Myanmar telah melanggar Kovensi Genosida PBB.
Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.
Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya telah digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember 2019. Dalam putusannya Januari lalu, ICJ meminta Myanmar untuk mencegah genosida Rohingya lebih lanjut. Negara itu pun diharuskan memberi laporan terkait tindakan pencegahan yang diambilnya setiap enam bulan sekali.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.