REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Osama Al Sharif, Jurnalis/Menulis untuk Gulf News
Pemerintah Israel yang baru dibentuk belum bereaksi secara resmi terhadap keputusan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada 20 Mei lalu untuk "mengakhiri semua perjanjian dan kesepakatan dengan pemerintah Amerika dan Israel dan semua komitmen berdasarkan pada kesepakatan dan perjanjian ini, termasuk keamanan."
Tetapi Israel mengkonfirmasi bahwa Otoritas Nasional Palestina (PNA) telah menangguhkan koordinasi keamanan; bagian penting dari perjanjian bersama.
Ini mungkin adalah bukti paling penting bahwa Abbas memaksudkan apa yang dia katakan dan bahwa kita sekarang menyaksikan siklus eskalasi baru antara kedua belah pihak.
Abbas memang membuat ancaman serupa di masa lalu. Dia berharap --meski sia-sia-- bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menyerah dan melanjutkan negosiasi damai yang ditangguhkan selama lebih dari 10 tahun dari sekarang.
Tetapi Netanyahu, yang komitmennya pada solusi dua negara tidak pernah solid, pada awalnya mengabaikan ancaman Abbas, namun Israel malah memperluas koloninya di Tepi Barat dan membangun yang baru, terutama di Yerusalem Timur, yang diduduki.
Serangkaian keputusan ilegal dan sepihak oleh pemerintahan Trump. Ini termasuk pengakuan Yerusalem [yang diduduki] sebagai ibu kota Israel dan di bawah visi perdamaiannya yang terkenal yang dirilis Januari lalu, telah menyetujui aneksasi wilayah Tepi Barat.
Kini Trump dan Netanyahu telah membiarkan Abbas dengan beberapa pilihan yang mengerikan. Dia telah memutuskan untuk mengakhiri semua kontak dengan Amerika Serikat dan menolak tekanan --termasuk penangguhan semua bantuan keuangan kepada PNA-- untuk melibatkan Gedung Putih.
Inisiatif terakhir oleh Rusia pada pekan lalu untuk memprakarsai dialog antara PNA dan AS melalui Kuartet Timur Tengah digagalkan Avi Berkowitz, asisten presiden dan perwakilan khusus AS untuk negosiasi internasional. Ia juga mantan penasihat Jared Kushner.
Berkowitz mengejutkan perwakilan PBB, yaitu Nickolay Mladenov, serta Uni Eropa dan Rusia, dalam sebuah konferensi virtual. Ia menegaskan bahwa satu-satunya rencana di atas meja adalah visi perdamaian Presiden Trump.
Bahwa kecuali Palestina melanjutkan pembicaraan dengan Gedung Putih mengenai dasar dari rencana itu, AS akan memberikan lampu hijau kepada Netanyahu untuk mencaplok bagian-bagian Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Netanyahu, yang persidangan korupsinya dimulai pada hari Minggu, menggandakan janjinya untuk melanjutkan pencaplokan sesegera mungkin.
Semua indikasi menunjukkan bahwa ia mengabaikan peringatan mantan kepala keamanan dan militer bahwa pencaplokan akan merusak kepentingan nasional Israel, mengancam perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, menyebabkan jatuhnya PNA dan membuat Israel kemungkinan terkena sanksi ekonomi Eropa.
Abbas mungkin telah melepaskan tembakan terakhirnya. Netanyahu bertekad untuk memenuhi janjinya untuk membunuh terbentuknya negara Palestina.
Orang Amerika telah mengirim pesan ke Netanyahu, mengingatkannya bahwa aneksasi hanyalah bagian dari rencana/visi, dan Israel harus bernegosiasi dengan Palestina mengenai pembentukan negara Palestina.
Opsi apa lagi yang dimiliki pemimpin Palestina? Beberapa orang berpendapat melibatkan Gedung Putih adalah langkah yang lebih baik. Ini bertujuan untuk menunda pencaplokan dan meyakinkan AS bahwa usulannya itu ilegal menurut hukum internasional dan tidak akan pernah diakui negara-negara Arab.
Yang lain sekarang percaya, Abbas seharusnya mengambil keputusan untuk mengakhiri semua perjanjian dengan Israel sejak lama. Mereka mengatakan Abbas juga harus membubarkan PNA dan memberi tahu dunia bahwa Palestina adalah negara yang diduduki.
Abbas harus menunjukkan Israel harus memikul tanggung jawab penuh untuk menjalankan kehidupan lebih dari 2,5 juta warga Palestina di Tepi Barat saja.