Senin 01 Jun 2020 06:51 WIB

Survei: Krisis Ekonomi Ancam Penduduk Israel Selama Covid-19

Warga Israel terancam hadapi kesulitan ekonomi selama Covid-19.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Warga Israel terancam hadapi kesulitan ekonomi selama Covid-19. Salah satu pemandangan warga Israel Ilustrasi.
Foto: Abir Sultan/EPA
Warga Israel terancam hadapi kesulitan ekonomi selama Covid-19. Salah satu pemandangan warga Israel Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Sebuah studi komprehensif dilakukan International Fellowship of Christian and Jewish (The Fellowship) dan Geocartography Institute. Dalam studi, ditemukan bahwa bahwa 40 persen orang Israel mengalami kesulitan membayar biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar. 

Presiden dan CEO The Fellowship mengatakan, Yael Eckstein, mengatakan, hasil survei berfungsi untuk menggarisbawahi apa yang selama ini dicurigai sebagian besar ahli, yaitu meski darurat medis untuk sebagian besar orang Israel mereda, dampak ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh krisis Covid-19 sudah parah. 

Baca Juga

"Kami masih memiliki banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan dalam beberapa bulan mendatang untuk membantu agar rakyat Israel pulih," tutur dia dilansir dari Jerusalem Post, Senin (1/6). 

Survei menemukan bahwa 40 persen dari peserta yang disurvei menghadapi kesulitan menemukan cara untuk membayar pengeluaran dasar, seperti makanan, tagihan, dan sewa atau melakukan pembayaran hipotek. Sedangkan 42,6 persen dari peserta yang disurvei tidak dapat bergantung pada anggota keluarga mereka untuk bantuan ekonomi. 

Hampir satu dari sepuluh orang Israel (9,6 persen) mengalami kesulitan keuangan meletakkan makanan di atas meja, dan sepersepuluh warga Israel yang disurvei dalam bahaya diusir dari rumah mereka, atau listrik dan air mereka dimatikan. 

"Sementara 9,3 persen melaporkan kesulitan membayar hipotek atau sewa mereka, 8,6 persen lainnya mengalami kesulitan membayar tagihan seperti listrik, air, gas, dan pajak kota," demikian hasil survei itu. 

Seperempat peserta survei (24,7 persen) diberi cuti tanpa bayaran atau diberhentikan dari pekerjaan mereka. Dan di antara 14,1 persen pasangan, kedua anggota pasangan kehilangan penghasilan. Seperlima dari peserta (21 persen) menyatakan bahwa mereka kehilangan setengah atau lebih dari pendapatan rumah tangga mereka karena krisis. 

Lebih dari sepersepuluh peserta harus kembali atau sudah kembali ke orang tua mereka karena krisis. "Memiliki satu atau dua anggota keluarga yang dipecat dari pekerjaannya atau cuti yang tidak dibayar menciptakan krisis ekonomi yang mempengaruhi seluruh keluarga," kata Tami Barsheshet, ketua organisasi manajer layanan sosial di pemerintah daerah. 

Di sisi lain, hanya seperempat (24,7 persen) yang mengatakan bahwa pendapatan mereka tidak terpengaruh sama sekali. Namun sepertiga dari peserta berharap bahwa mereka akan membutuhkan lebih dari enam bulan untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan krisis virus Covid-19. 

"Dari fakta-fakta di lapangan yang dikumpulkan oleh otoritas setempat, telah terjadi peningkatan 50 persen permintaan baru yang dibuat kepada departemen layanan sosial setempat dan kami berharap krisis ekonomi yang dialami keluarga-keluarga ini tidak memburuk," kata Baresheshet menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement