REPUBLIKA.CO.ID, BHAKTAPUR -- Pada bulan lalu ada seorang ibu muda yang meninggal dunia karena Covid-19 di Nepal. Ia pasien pertama yang meninggal karena penyakit yang disebabkan virus korona di negara itu. Bayinya yang baru berusia beberapa hari pun dipindahkan ke bangsal isolasi.
Tapi jenazah ibunya tidak ada yang memindahkan. Supir ambulan dan pegawai rumah sakit khawatir takut tertular. Mereka menolak memindahkan jenazah ibu itu dari kamar jenazah rumah sakit ke krematorium, agar ibu itu dapat dimakamkan sesuai tradisi Hindu.
Pihak berwenang akhirnya memanggil RNA-16, sekolompok sukarelawan yang beranggotakan tiga laki-laki dan satu perempuan memakai rompi biru. Mereka terkenal sebagai sukarelawan tanpa pamrih yang bekerja di kota warisan budaya dunia versi UNESCO, Bhaktapur.
RNA-16 singkatan dari 'Rescue and Awareness' dan 16 jenis bencana yang mereka siap tangani mulai dari gempa bumi hingga kecelakaan lalu lintas. Para dokter dan pemimpin sipil mengatakan mereka bekerja lebih keras lagi selama pandemi virus corona.
"Mereka benar-benar pahlawan dan melakukan pekerjaan yang tidak ada orang yang mau melakukannya, ketika petugas kesehatan saja takut, mereka berani membantu masyarakat selama pandemi," kata anggota dewan kota Bhaktapur, Kiran Thapa, Rabu (2/6).
Mereka menerima bantuan keuangan dari para pengusaha. Para dokter dan pemimpin sipil memuji mereka karena telah membantu membiayai perlengkapan sistem kesehatan selama pandemi. Sejak Nepal melaporkan kasus pertama virus corona, RNA-16 sudah memasang tenda di atas rumah sakit apotik di Bhaktapur.
"Saat karantina nasional dideklarasikan, kami memutuskan mendirikan tenda di sini dan membantu karena kami memprediksi akan ada banyak orang yang datang untuk melakukan tes," kata ketua tim RNA-16 Arun Sainju.
Sainju yang berusia 31 tahun adalah instruktur keselamatan di sekolah. Ia membentuk RNA-16 setelah gempa bumi Nepal 2015.
Saat itu ia sedang berada di rumah sakit karena demam. Ia meninggalkan tempat tidurnya dan membantu dokter dan perawat yang kewalahan menghadapi banyaknya korban gempa.
"Saya memisahkan jenazah dari orang yang hanya terluka dan mengkategorikannya untuk dokter, saat itulah hidup saya berubah dan saya memutuskan membantu orang," katanya.
Anggota tim lainnya adalah Nhuja Kaiju berusia 20 tahun seorang operator komputer salah satu kantor pemerintah, Rajesh Gaiju berusia 28 tahun seorang guru sejarah dan ilmu budaya, dan Punam Karmacharya. Perempuan 22 tahun yang berprofesi sebagai perawat itu satu-satunya anggota RNA-16 yang mendapatkan pelatihan medis.
Ketika virus corona merebak di China yang bertetangga dengan Nepal. RNA-16 ikut latihan bersama tentara Nepal untuk bersiap menghadapi pandemi. Mereka berlatih bagaimana mengatasi sampel-sampel virus dan tubuhnya yang terinfeksi.
Ketika sebagian besar tim aksi cepat kota lain menolak memindahkan pasien suspek Covid-19. RNA-16 mengubah truk pinjaman menjadi mobil ambulan dan mulai mendapatkan panggilan dari berbagai daerah di Bhaktapur dan sekitarnya untuk menjemput warga yang ingin melakukan tes.
Terpisah dari tenda-tenda tempat anggota tim tidur, RNA-16 mendirikan dua tenda di halaman rumah sakit tempat mereka dan perawat rumah sakit mengumpulkan sampel-sampel pemeriksaan. Rata-rata setiap hari ada 80 orang yang melakukan tes.
Para sukarelawan itu membariskan para warga yang datang lalu mengumpulkan informasi dan sampel mereka. Pada bulan lalu mereka dikerahkan untuk menangani jenazah ibu muda yang meninggal karena Covid-19.
"Ketika kami tiba di kamar jenazah, ada darah yang menggenang di lantai dan jenazahnya tidak dikemas dengan benar, kami harus harus mengemas ulang jenazahnya, mengangkatnya ke mobil dan membawanya ke kuil Pashupati untuk dikremasi," kata Sainju.
Pegawai krematorium pun tidak ingin berada di dekat jenazah tersebut. Sehingga tim RNA-16 harus memasukan jenazah ibu itu ke dalam tungku sementara keluarganya berdiri agak jauh.
Sainju mengatakan RNA-16 yang menggelar prosesi pemakaman perempuan itu, seluruh anggota tim pun mengkarantina diri selama 11 hari. Selama itu pun Sainju merasa gelisah. Karena saat ia tidak ada, masih banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan.