REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Mark Esper menggambarkan kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini dengan sebutan Battlespace. Pemerintah juga mulai menggunakan militer untuk terjun langsung menangani kondisi yang terjadi sehingga menimbulkan kritik tajam.
"Amerika bukanlah medan pertempuran. Warga negara kami bukanlah musuh," ujar pensiunan jenderal bintang empat yang menjabat sebagai ketua Kepala Staf Gabungan, Martin Dempsey.
Pernyataan Dempsey ini menjadi pukulan ketika pemerintah AS memperlihatkan keadaan negara yang seakan sedang genting. AS mengerahkan helikopter di atas kepala warga yang memprotes pembunuhan George Floyd di Washington hingga menurunkan pasukan di titik demonstran.
Presiden Donald Trump juga semakin beralih ke retorika militeristik pada saat pergolakan semakin meluas. Militer AS tampaknya memainkan peran pendukung yang mengkhawatirkan semakin mengkhawatirkan banyak pihak.
Seorang pejabat militer berbicara dengan syarat anonim, menyuarakan keprihatinan kondisi saat ini. Dia menilai akan ada kerusakan abadi yang akan datang dari pengerahan militer sebagai alat politik.
"Presiden datang dan pergi ... seragam harus dipertahankan," kata pejabat itu.
Bagi para kritikus Trump, ketergantungan presiden Republik terhadap militer dalam upaya domestik berisiko. Angkatan bersenjata yang bersifat apolitis seakaan digunakan untuk agenda politik Trump.
Sebelum peristiwa demonstrasi, Trump telah mempekerjakan militer untuk membantu membendung imigrasi ilegal. Dia juga menggunakan dana pertahanan untuk membangun tembok perbatasannya.
Tapi, menerjunkan militer AS dalam kerusuhan sangat bermasalah. Pasukan keamanan ini dirancang untuk melindungi AS dari musuh asing dan menegakkan konstitusi yang secara eksplisit melindungi hak-hak warga negara untuk melakukan protes secara damai.
Bahkan kepala Garda Nasional mengakui bahwa menanggapi krisis domestik membuat pasukannya gelisah. Sejauh ini, lebih dari 20 ribu anggota Garda Nasional telah dipanggil untuk membantu penegakan hukum setempat dengan protes di seluruh negeri.
"Misi ini adalah misi yang tidak nyaman. Mereka tidak suka melakukannya, tetapi kita bisa melakukannya," kata kepala Biro Garda Nasional, Jenderal Joseph Lengyel.
Peran Pentagon dalam kerusuhan sipil dapat berubah menjadi dramatis jika Trump memutuskan untuk mengerahkan pasukan tugas aktif, sesuatu yang sejauh ini militer AS enggan lakukan. Trump awal pekan mengancam akan mengirim pasukan aktif AS untuk membasmi kerusuhan sipil yang mencengkeram beberapa kota.
Demi mengerahkan militer AS untuk tujuan penegakan hukum, Trump perlu meminta Undang-Undang Pemberontakan. Penerapan ini terakhir dilakukan pada 1992 sebagai tanggapan terhadap kerusuhan Rodney King di Los Angeles.
Menanggapi pernyataan Trump, militer AS telah memposisikan pasukan tugas aktif yang sebagian besar polisi militer dan insinyur. Mereka bersiap di pinggiran wilayah Washington untuk dikerahkan jika perlu.
Republikan di Komite Angkatan Bersenjata House of Representatives mengatakan, diskusi tentang Undang-Undang Pemberontakan dapat dengan mudah membuat pasukan AS menjadi pion politik. "Saya khawatir bahwa di lingkungan saat ini, akan terlalu mudah untuk menempatkan pria dan wanita kita dalam seragam di tengah krisis politik dan budaya domestik," kata Mac Thornberry.
Sedangkan Partai Demokrat dan ketua komite, Adam Smith, mengatakan dia meminta Esper dan ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley untuk bersaksi. "Saya tetap sangat prihatin tentang pemerintahan Presiden Trump yang tampaknya otokratis dan bagaimana hal itu memengaruhi penilaian kepemimpinan militer kita," katanya.
"Nasib demokrasi kita tergantung pada bagaimana kita menavigasi saat krisis ini," kata Smith.